Negara Islam Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Bendera NII
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)
l b s
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan
nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah
gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12
Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di
Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa
Barat. Diproklamirkan saat Negara Pasundan buatan belanda mengangkat Raden Aria
Adipati Wiranatakoesoema sebagai presiden.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang
saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang
dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam
Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya
dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang
tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia
dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang
berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain
Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir",
sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.[butuh rujukan]
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa
wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa
Tengah), Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan .[1] [2]. Untuk melindungi
kereta api, Kavaleri Kodam VI Siliwangi (sekarang Kodam III) mengawal kereta
api dengan panzer tak bermesin yang didorong oleh lokomotif uap D-52 buatan
Krupp Jerman Barat. Panzer tersebut berisi anggota TNI yang siap dengan senjata
mereka. Bila ada pertempuran antara TNI dan DI/TII di depan, maka kereta api
harus berhenti di halte terdekat. Pemberontakan bersenjata yang selama 13 tahun
itu telah menghalangi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ribuan ibu-ibu menjadi
janda dan ribuan anak-anak menjadi yatim-piatu. Diperkirakan 13.000 rakyat
Sunda, anggota organisasi keamanan desa (OKD) serta tentara gugur. Anggota
DI/TII yang tewas tak diketahui dengan tepat.[3] [4]
Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada
1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun
dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.[5]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Gerakan DI/TII Daud Beureueh
2 Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
3 Gerakan DI/TII Amir Fatah
4 Gerakan DI/TII Qahar Muzakkar
5 Referensi
6 Pranala luar
Gerakan DI/TII Daud Beureueh[sunting | sunting sumber]
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi"
Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di
bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai
"Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama
Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh
atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik
sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer,
Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil
memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk
beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai
sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera
Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah
didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di
hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan
dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember
1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar[sunting | sunting sumber]
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan
pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para
pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI
(TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya
melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk
menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah,
akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan
pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI
(TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar
beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
Gerakan DI/TII Amir Fatah[sunting | sunting sumber]
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII
Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah
dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh
beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan
S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam.
Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI
dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh
"orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga,
adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI
tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di
daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi
Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya
perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah
dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim Indonesia.
Gerakan DI/TII Qahar Muzakkar[sunting | sunting sumber]
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar
menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya
dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah
pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak
memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan
menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat
dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar
Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa
persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya
menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII
Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar
Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.
Orde Lama
Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada
masa pemerintahan Soekarno (1945-1965). Istilah ini tentu saja tidak digunakan
pada saat itu, dan baru dicetuskan pada masa pemerintahan Soeharto yang disebut
juga dengan Orde Baru.
Sejarah Indonesia (1945-1949) - Revolusi Nasional
Sejarah Indonesia (1950-1959)
Sejarah Indonesia (1959-1968) - Demokrasi Terpimpin
Sejarah Indonesia selama 1945—1949 dimulai dengan
masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia
setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan penyerahan kedaulatan kepada
Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa
sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh
Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 1945
1.1 Kembalinya Belanda bersama Sekutu
1.1.1 Latar belakang terjadinya kemerdekaan
1.1.2 Mendaratnya Belanda diwakili NICA
1.2 Pertempuran melawan Sekutu dan NICA
1.3 Ibukota pindah ke Yogyakarta
2 1946
2.1 Perubahan sistem pemerintahan
2.2 Diplomasi Syahrir
2.2.1 Penculikan terhadap PM Sjahrir
2.2.2 Kembali menjadi PM
2.3 Konferensi Malino - Terbentuknya "negara" baru
3 1946-1947
3.1 Peristiwa Westerling
3.2 Perjanjian Linggarjati
3.3 Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan
Linggarjati
3.4 Proklamasi Negara Pasundan
3.5 Agresi Militer I
3.6 Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri
4 1948
4.1 Perjanjian Renville
4.2 Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Mohammad Hatta
sebagai Perdana Menteri
5 1948-1949
5.1 Agresi Militer II
5.2 Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta
5.3 Perjanjian Roem Royen
5.4 Serangan Umum Surakarta
5.5 Konferensi Meja Bundar
5.6 Penyerahan kedaulatan oleh Belanda
6 Rujukan
7 Lihat pula
1945[sunting | sunting sumber]
Kembalinya Belanda bersama Sekutu[sunting | sunting sumber]
Latar belakang terjadinya kemerdekaan[sunting | sunting
sumber]
Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara
sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang
pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah
pendudukannya.
Menjelang akhir perang, tahun 1945, sebagian wilayah
Indonesia telah dikuasai oleh tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah
mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah
diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah. Sementara
Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara
Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur,
Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area
Command/SWPAC).
Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab
terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai
Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia
Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa
dan Indocina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi
Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentera Jepang dan mengurus
pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied
Prisoners of War and Internees/RAPWI).
Mendaratnya Belanda diwakili NICA[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan Civil Affairs Agreement, pada 23 Agustus 1945
Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang, Aceh. 15 September 1945,
tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr.
Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini,
diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil
Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan
untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun
1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan), tetapi ia mengumumkan
bahwa ia tidak akan berbicara dengan Soekarno yang dianggapnya telah bekerja
sama dengan Jepang. Pidato Ratu Wilhemina itu menegaskan bahwa di kemudian hari
akan dibentuk sebuah persemakmuran yang di antara anggotanya adalah Kerajaan
Belanda dan Hindia Belanda, di bawah pimpinan Ratu Belanda.
Pertempuran melawan Sekutu dan NICA[sunting | sunting
sumber]
Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat
masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan
kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:
Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya dan sekitarnya.
Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang dan
sekitarnya.
Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah
dan Jawa Timur
Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya.
Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya.
Pertempuran Margarana, di Bali
Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta
Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang
Pertempuran Lima Hari, di Semarang
Ibukota pindah ke Yogyakarta[sunting | sunting sumber]
Karena situasi keamanan ibukota Jakarta (Batavia saat itu)
yang makin memburuk, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Soekarno dan Hatta
dengan menggunakan kereta api, pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan
ibukota. Meninggalkan Sutan Syahrir dan kelompok yang pro-negosiasi dengan
Belanda di Jakarta.[1]
Pemindahan ke Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan kereta
api, yang disebut dengan singkatan KLB (Kereta Luar Biasa). Orang lantas
berasumsi bahwa rangkaian kereta api yang digunakan adalah rangkaian yang
terdiri dari gerbong-gerbong luar biasa. Padahal yang luar biasa adalah jadwal
perjalanannya, yang diselenggarakan di luar jadwal yang ada, karena kereta
dengan perjalanan luar biasa ini, mengangkut Presiden beserta Wakil Presiden,
dengan keluarga dan staf, gerbong-gerbongnya dipilihkan yang istimewa, yang
disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA) untuk VVIP.[2]
1946[sunting | sunting sumber]
Perubahan sistem pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno
adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik
Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November
1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir
yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung
tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer)
memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris
dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek,
dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Diplomasi Syahrir[sunting | sunting sumber]
Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945,
Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah
Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A.
Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan
Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan".
Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945,
"Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak
akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan
Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis
bahwa Soekarno adalah persona non grata.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk
mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena
seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar
rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada
tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat
pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat
pernyataan memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan
wakil-wakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan
persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam
tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi
semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan
suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan
merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan
dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia
yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran
akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung
permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Pada bulan April dan Mei 1946, Sjahrir mengepalai delegasi
kecil Indonesia yang pergi berunding dengan pemerintah Belanda di Hoge Veluwe.
Lagi, ia menjelaskan bahwa titik tolak perundingan haruslah berupa pengakuan
atas Republik sebagai negara berdaulat. Atas dasar itu Indonesia baru mau
berhubungan erat dengan Kerajaan Belanda dan akan bekerja sama dalam segala
bidang. Karena itu Pemerintah Belanda menawarkan suatu kompromi yaitu:
"mau mengakui Republik sebagai salah satu unit negara federasi yang akan
dibentuk sesuai dengan Deklarasi 10 Februari".
Sebagai tambahan ditawarkan untuk mengakui pemerintahan de
facto Republik atas bagian Jawa dan Madura yang belum berada di bawah
perlindungan pasukan Sekutu. Karena Sjahrir tidak dapat menerima syarat-syarat
ini, konferensi itu bubar dan ia bersama teman-temannya kembali pulang.
Tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir mengirimkan surat rahasia
kepada van Mook, menganjurkan bahwa mungkin perundingan yang sungguh-sungguh
dapat dimulai kembali. Dalam surat Sjahrir yang khusus ini, ada penerimaan yang
samar-samar tentang gagasan van Mook mengenai masa peralihan sebelum
kemerdekaan penuh diberikan kepada Indonesia; ada pula nada yang lebih samar-samar
lagi tentang kemungkinan Indonenesia menyetujui federasi Indonesia - bekas
Hindia Belanda dibagi menjadi berbagai negara merdeka dengan kemungkinan hanya
Republik sebagai bagian paling penting. Sebagai kemungkinan dasar untuk
kompromi, hal ini dibahas beberapa kali sebelumnya, dan semua tokoh politik
utama Republik mengetahui hal ini.
Tanggal 17 Juni 1946, sesudah Sjahrir mengirimkan surat
rahasianya kepada van Mook, surat itu dibocorkan kepada pers oleh surat kabar
di Negeri Belanda. Pada tanggal 24 Juni 1946, van Mook mengirim kawat ke Den
Haag: "menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, usul balasan (yakni
surat Sjahrir) tidak disetujui oleh Soekarno dan ketika dia bertemu dengannya,
dia marah. Tidak jelas, apa arah yang akan diambil oleh amarah itu". Pada
waktu yang sama, surat kabar Indonesia menuntut dijelaskan desas-desus tentang
Sjahrir bersedia menerima pengakuan de facto Republik Indonesia terbatas pada
Jawa dan Sumatra.
Penculikan terhadap PM Sjahrir[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penculikan Perdana
Menteri Sjahrir
Tanggal 27 Juni 1946, dalam Pidato Peringatan Isra Mi'raj
Nabi Muhammad SAW, Wakil Presiden Hatta menjelaskan isi usulan balasan di depan
rakyat banyak di alun-alun utama Yogyakarta, dihadiri oleh Soekarno dan
sebagian besar pucuk pimpinan politik. Dalam pidatonya, Hatta menyatakan
dukungannya kepada Sjahrir, akan tetapi menurut sebuah analisis, publisitas
luas yang diberikan Hatta terhadap surat itu, menyebabkan kudeta dan penculikan
terhadap Sjahrir.
Pada malam itu terjadi peristiwa penculikan terhadap Perdana
Menteri Sjahrir, yang sudah terlanjur dicap sebagai "pengkhianat yang
menjual tanah airnya". Sjahrir diculik di Surakarta, ketika ia berhenti
dalam perjalanan politik menelusuri Jawa. Kemudian ia dibawa ke Paras, kota
dekat Solo, di rumah peristirahatan seorang pangeran Solo dan ditahan di sana
dengan pengawasan Komandan Batalyon setempat.
Pada malam tanggal 28 Juni 1946, Ir Soekarno berpidato di
radio Yogyakarta. Ia mengumumkan, "Berhubung dengan keadaan di dalam
negeri yang membahayakan keamanan negara dan perjuangan kemerdekaan kita, saya,
Presiden Republik Indonesia, dengan persetujuan Kabinet dan sidangnya pada
tanggal 28 Juni 1946, untuk sementara mengambil alih semua kekuasaan
pemerintah". Selama sebulan lebih, Soekarno mempertahankan kekuasaan yang
luas yang dipegangnya. Tanggal 3 Juli 1946, Sjahrir dibebaskan dari penculikan;
namun baru tanggal 14 Agustus 1946, Sjahrir diminta kembali untuk membentuk
kabinet.
Kembali menjadi PM[sunting | sunting sumber]
Tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir kembali menjadi Perdana
Menteri, Sjahrir kemudian berkomentar, "Kedudukan saya di kabinet ketiga
diperlemah dibandingkan dengan kabinet kedua dan pertama. Dalam kabinet ketiga
saya harus berkompromi dengan Partai Nasional Indonesia dan Masyumi... Saya
harus memasukkan orang seperti Gani dan Maramis lewat Soekarno; saya harus
menanyakan pendapatnya dengan siapa saya membentuk kabinet."
Konferensi Malino - Terbentuknya "negara"
baru[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Konferensi Malino
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan
Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah
mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi
wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta
organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian;
Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
1946-1947[sunting | sunting sumber]
Peristiwa Westerling[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pembantaian
Westerling
Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa
pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan
Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Westerling. Peristiwa ini terjadi pada
Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency
(penumpasan pemberontakan).
Perjanjian Linggarjati[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perundingan Linggarjati
Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk
memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan
membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu.
Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di
bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn.
Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat
-terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15
November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut:
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan
wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus
meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam
membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang
salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi
komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari
wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain.
Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama
dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan
bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi
serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB.
Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan
lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali
ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir
di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati.
Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya
persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang
bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.
Peristiwa yang terjadi terkait dengan hasil perundingan
Linggarjati[sunting | sunting sumber]
Parade Tentara Republik Indonesia (TRI) di Purwakarta, Jawa
Barat, pada tanggal 17 Januari 1947.
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, S M
Kartosuwiryo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam
komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP
(Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah
Persetujuan Linggarjati yang telah diparaf oleh Pemerintah Republik dan Belanda
pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak Kepergian S M Kartosoewirjo
ini dikawal oleh para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat
tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung pendapat sangat sengit, yakni
antara sayap sosialis (diwakili melalui partai Pesindo), dengan pihak
Nasionalis-Islam (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI). Pihak sosialis ingin
agar KNPI menyetujui naskah Linggarjati tersebut, sedang pihak Masyumi dan PNI
cenderung ingin menolaknya Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati
benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada S M
Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan
Pesindo.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil
Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia
Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah
itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, *28 ia telah memaksa terwujudnya
Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar
tanggal 18 - 24 Desember 1946
Pada bulan tanggal 25 Maret 1947 hasil perjanjian
Linggarjati ditandatangani di Batavia Partai Masyumi menentang hasil perjanjian
tersebut, banyak unsur perjuang Republik Indonesia yang tak dapat menerima
pemerintah Belanda merupakan kekuasaan berdaulat di seluruh Indonesia 29 Dengan
seringnya pecah kekacauan, maka pada prakteknya perjanjian tersebut sangat
sulit sekali untuk dilaksanakan.
Proklamasi Negara Pasundan[sunting | sunting sumber]
Usaha Belanda tidak berakhir sampai di NIT. Dua bulan
setelah itu, Belanda berhasil membujuk Ketua Partai Rakyat Pasundan, Soeria
Kartalegawa, memproklamasikan Negara Pasundan pada tanggal 4 Mei 1947. Secara
militer negara baru ini sangat lemah, ia benar benar sangat tergantung pada
Belanda, tebukti ia baru eksis ketika Belanda melakukan Agresi dan kekuatan RI
hengkang dari Jawa Barat.
Di awal bulan Mei 1947 pihak Belanda yang memprakarsai berdirinya
Negara Pasundan itu memang sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang
Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota
yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukkan dalam waktu dua minggu dan untuk
menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun
menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu
pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari
pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak
mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakibatkan
perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda
memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak
dan karet).
Agresi Militer I[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota
Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa
bersama;
Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di
daerahdaerah yang diduduki Belanda;
Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk
daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama);
dan
Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui
kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban
ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Ketika jawaban yang memuaskan tidak kunjung tiba, Belanda
terus "mengembalikan ketertiban" dengan "tindakan
kepolisian". Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam (tepatnya 21 Juli
1947) mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisionil' mereka yang pertama.
Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana
mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan
yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak
termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur.
Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan
demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa Di Sumatera,
perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi- instalasi minyak dan
batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Melihat aksi
Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan
putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui
tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan
Belanda.
Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya
bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat
mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini
menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali. Beberapa orang Belanda,
termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu
pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang
menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring
Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Naiknya Amir Syarifudin sebagai Perdana Menteri[sunting |
sunting sumber]
Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli,
pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri
Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota
PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada S.M.
Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri
Pertahanan kedua. Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada
Soekarno dan Amir Syarifudin, dia menolak kursi menteri karena "ia belum
terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi".
S.M. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata
karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh
keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat
menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Indonesia disebabkan
berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda. Di samping itu
Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Syarifudin yang kekiri-kirian.
Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan
politik nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan
sangat jelas terlihat bahwa Amir Syarifudin ingin membawa politik Indonesia ke
arah Komunis.
1948[sunting | sunting sumber]
Perjanjian Renville[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB,
atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata
tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi
Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika
Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal
perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang
bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi
perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat
akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati,
karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di
pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari
federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai
diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville
Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai,
bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi
sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat
pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk
menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer.
Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar
Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Sedikit banyak, ini merupakan ulangan dari apa yang terjadi
selama dan sesudah perundingan Linggarjati. Seperti melalui persetujuan
Linggarjati, melalui perundingan Renville, Soekarno dan Hatta dijadikan lambang
kemerdekaan Indonesia dan persatuan Yogyakarta hidup lebih lama, jantung
Republik terus berdenyut. Ini kembali merupakan inti keuntungan Seperti sesudah
persetujuan Linggarjati, pribadi lain yang jauh dari pusat kembali
diidentifikasi dengan persetujuan -dulu Perdana Menteri Sjahrir, kini Perdana
Menteri Amir- yang dianggap langsung bertanggung jawab jika sesuatu salah atau
dianggap salah.
Runtuhnya Kabinet Amir dan naiknya Mohammad Hatta sebagai
Perdana Menteri[sunting | sunting sumber]
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya
Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir. Seluruh anggota yang
tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan
jabatan ketika Perjanjian Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir
sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari
1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya
kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu
menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta
untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh
pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang
duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama orang-orang
PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Amir dan kelompoknya dari
sayap kiri kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi
tersebut membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan
pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis
Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya
kepada pemerintah Hatta.
Memang runtuhnya Amir datang bahkan lebih cepat ketimbang
Sjahrir, enam bulan lebih dulu Amir segera dituduh -kembali khususnya oleh
Masyumi dan kemudian Partai Nasional Indonesia- terlalu banyak memenuhi
keinginan pihak asing. Hanya empat hari sesudah Perjanjian Renville
ditandatangani, pada tanggal 23 Januari 1948, Amir Syarifudin dan seluruh
kabinetnya berhenti. Kabinet baru dibentuk dan susunannya diumumkan tanggal 29
Januari 1948. Hatta menjadi Perdana Menteri sekaligus tetap memangku jabatan
sebagai Wakil Presiden.
Tampaknya kini lebih sedikit jalan keluar bagi Amir dibanding
dengan Sjahrir sesudah Perundingan Linggarjati; dan lebih banyak penghinaan.
Beberapa hari sesudah Amir berhenti, di awal Februari 1948, Hatta membawa Amir
dan beberapa pejabat Republik lainnya mengelilingi Provinsi. Amir diharapkan
menjelaskan Perjanjian Renville. Pada rapat raksasa di Bukittinggi, Sumatera
Barat, di kota kelahiran Hatta -dan rupanya diatur sebagai tempat berhenti
terpenting selama perjalanan- Hatta berbicara tentang kegigihan Republik, dan
pidatonya disambut dengan hangat sekali.
Kemudian Amir naik mimbar, dan seperti diuraikan Hatta
kemudian: "Dia tampak bingung, seolah-olah nyaris tidak mengetahui apa
ayang harus dikatakannya. Dia merasa bahwa orang rakyat Bukittinggi tidak
menyenanginya, khususnya dalam hubungan persetujuan dengan Belanda. Ketika dia
meninggalkan mimbar, hampir tidak ada yang bertepuk tangan"
Menurut peserta lain: "Wajah Amir kelihatannya seperti
orang yang sudah tidak berarti". Sjahrir juga diundang ke rapat
Bukittinggi ini; dia datang dari Singapura dan berpidato. Menurut Leon Salim
-kader lama Sjahrir- "Sjahrir juga kelihatan capai dan jarang
tersenyum". Menurut kata-kata saksi lain, "Seolah-olah ada yang
membeku dalam wajah Sjahrir" dan ketika gilirannya berbicara "Dia
hanya mengangkat tangannya dengan memberi salam Merdeka dan mundur". Hatta
kemudian juga menulis dengan singkat tentang pidato Sjahrir: "Pidatonya
pendek". Dipermalukan seperti ini, secara psikologis amat mungkin menjadi
bara dendam yang menyulut Amir untuk memberontak di kemudian hari.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di
Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan
Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah.
Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi
pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan
senjata yang berulang-ulang.
1948-1949[sunting | sunting sumber]
Agresi Militer II[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Agresi Militer II
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali
dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta
penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.
Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Serangan Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta[sunting | sunting
sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Serangan Umum 1
Maret
Serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949
terhadap kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan
dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III
-dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat-
berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada
dunia internasional bahwa TNI -berarti juga Republik Indonesia- masih ada dan
cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan
yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk
mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional
bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk
mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade
X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
Perjanjian Roem Royen[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perjanjian Roem
Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional
melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang
mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa
Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949,
Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Serangan Umum Surakarta[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Serangan Umum
Surakarta
Serangan Umum Surakarta berlangsung pada tanggal 7-10
Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar
dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar.
Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo
dan sekitarnya. Serangan itu menyadarkan Belanda bila mereka tidak akan mungkin
menang secara militer, mengingat Solo yang merupakan kota yang pertahanannya
terkuat pada waktu itu berhasil dikuasai oleh TNI yang secara peralatan lebih
tertinggal tetapi didukung oleh rakyat dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang
andal seperti Slamet Riyadi.
Konferensi Meja Bundar[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Konferensi Meja
Bundar
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara
pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag,
Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan
kedaulatan.
Penyerahan kedaulatan oleh Belanda[sunting | sunting sumber]
Bung Hatta di Amsterdam, Belanda menandatangani perjanjian
penyerahan kedaulatan.
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pengakuan
kemerdekaan Indonesia oleh Belanda
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember
1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus
1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan
kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga
ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja
mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah
ilegal.
Era 1950-1959 atau juga disebut Orde Lama adalah era di mana
presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi UUDS Republik Indonesia
1950. Periode ini berlangsung mulai dari 17 Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Latar Belakang
2 Konstituante
3 Kabinet-kabinet
3.1 1950-1951 - Kabinet Natsir
3.2 1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
3.3 1952-1953 - Kabinet Wilopo
3.4 1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
3.5 1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
3.6 1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
3.7 1957-1959 - Kabinet Djuanda
4 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Latar Belakang[sunting | sunting sumber]
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada
saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan.
Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia,
Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian
pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950.
Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan
menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut
sistem kabinet parlementer di Indonesia. Kemudian muncullah pergantian Perdana
Menteri selama 7 kali dan hal tersebut sangat mempengaruhi perpolitikan di
Indonesia.
Konstituante[sunting | sunting sumber]
Konstituante diberikan tugas untuk membuat undang-undang
dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini
belum juga bisa membuat konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan
konsepsi tentang Demokrasi Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide
untuk kembali pada UUD 1945. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam Sidang
Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS tanggal 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan “sementara”, karena hanya bersifat sementara, menunggu
terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi
baru. Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis,
namun Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut. Pada
tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959, yang antara lain berisi kembali berlakunya UUD 1945.
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang
membubarkan Konstituante.
Kabinet-kabinet[sunting | sunting sumber]
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan
situasi politik yang tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
1950-1951 - Kabinet Natsir[sunting | sunting sumber]
Program kerja kabinet Natsir :
Mempersiapkan dan menyelengarakan pemilihan umum untuk
memilih Dewan Konstituante
Menyempurnakan susunan pemerintahan dan membentuk
kelengkapan negara
Menggiatkan usaha mencapai keamanan dan ketentraman
Meningkatkan kesejahteraan rakyat
Menyempurnakan organisasi angkatan perang
Memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat
Akan tetapi, belum sampai program tersebut terlaksana,
kabinet ini sudah jatuh pada 21 Maret 1951 dalam usia 6,5 bulan. Jatuhnya
kabinet ini karena kebijakan Natsir dalam rangka pembentukan DPRD dinilai oleh
golongan oposisi terlalu banyak menguntungkan Masyumi.
1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo[sunting | sunting
sumber]
Program kerja kabinet Sukiman :
Menjalankan berbagai tindakan tegas sebagai negara hukum
untuk menjamin keamanan dan ketentraman serta menyempurnakan organisasi
alat-alat kekuasaan negara
Membuat dan melakukan rencana kemakmuran nasional dalam
jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat dan
mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam pembangunan
Menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk Dewan
Konstituante dan menyelengarakan pemilu itu dalam waktu singkat serta
mempercepat terlaksananya otonomi daerah
Menyiapkan undang-undang pengakuan serikat buruh, perjanjian
kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh
Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
Memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya
Kabinet Sukiman tidak mampu bertahan lama dan jatuh pada
bulan Februari 1952. Penyebab jatuhnya kabinet ini adalah karena diserang oleh
kelompok sendiri akibat kebijakan politik luar negeri yang dinilai terlalu
condong ke Barat atau pro-Amerika Serikat. Pada saat itu, kabinet Sukiman telah
menendatangani persetujuan bantuan ekonomi, teknologi, dan persenjataan dengan
Amerika Serikat. Dan persetujuan ini ditafsirkan sebagai masuknya Indonesia ke
Blok Barat sehingga bertentangan dengan program kabinet tentang politik luar
negeri bebas aktif.
1952-1953 - Kabinet Wilopo[sunting | sunting sumber]
Program kerja kabint Wilopo :
Mempersiapkan pemilihan umum
Berusaha mengembalikan Irian Barat ke dalam pangkuan RI
Meningkatkan keamanan dan kesejahteraan
Memperbarui bidang pendidikan dan pengajaran
Melaksanakan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Wilopo banyak mengalami kesulitan dalam mengatasi
timbulnya gerakan-gerakan kedaerahan dan benih-benih perpecahan yang akan
menggangu stabilitas polotik Indonesia. Ketika kabinet Wilopo berusaha
menyelesaikan sengketa tanah perusahaan asing di Sumatera Utara, kebijakan itu
ditentang oleh wakil-wakil partai oposisi di DPR sehingga menyebabkan
kabinetnya jatuh pada 2 Juni 1953 dalam usia 14 bulan.
1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I[sunting | sunting
sumber]
Program kerja Kabinet Ali-Wongsonegoro :
Menumpas pemberontakan DI/TII di berbagai daerah
Melaksanakan pemilihan umum
Memperjuangkan kembalinya Irian Barat kepada RI
Menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika
Pada masa kabinet Ali-Wongsonegoro, gangguan keamanan makin
meningkat, antara lain munculnya pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Daud
Beureuh Aceh, dan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Meskipun dihinggapi
berbagai kesulitan, kabinet Ali-Wongsonegoro berhasil menyelenggarakan
Konferensi Asia Afrika. Oleh karena itu, kabinet Ali-Wongsonegoro ikut
terangkat namanya. Kabinet Ali-Wongsonegoro akhirnya jatuh pada bulan Juli 1955
dalam usia 2 tahun (usia terpanjang). Penyebab jatuhnya kabinet
Ali-Wongsonegoro adalah perselisihan pendapat anatara TNI-AD dan pemerintah
tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD
1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap[sunting | sunting
sumber]
Program kerja Kabinet Burhanuddin :
Mengembalikan kewibawaan moral pemerintah, dalam hal ini
kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat
Akan dilaksanakan pemilihan umum, desentralisasi, memecahkan
masalah inflasi, dan pemberantasan korupsi
Perjuangan mengembalikan Irian Barat
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap, dilaksanakan
pemilihan umum pertama di Indonesia. Kabinet ini menyerahkan mandatnya setelah
DPR hasil pemilihan umum terbentuk pada bulan Maret 1956.
1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II[sunting | sunting
sumber]
Program kerja Kabinet Ali II :
Menyelesaikan pembatasan hasil KMB
Menyelesaikan masalah Irian Barat
Pembentukan provinsi Irian Barat
Menjalankan politik luar negeri bebas aktif
Kabinet Ali II ini pun tidak berumur lebih dari satu tahun
dan akhirnya digantikan oleh kabinet Juanda.
1957-1959 - Kabinet Djuanda[sunting | sunting sumber]
Program kerja Kabinet Karya disebut Pancakarya yang meliputi
:
Membentuk Dewan Nasional
Normalisasi keadaan RI
Melanjutkan pembatalan KMB
Memperjuangkan Irian Barat kembali ke RI
Mempercepat pembangunan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959[sunting | sunting sumber]
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa
parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. Masa sesudah ini lazim disebut
masa Demokrasi Terpimpin
Isinya ialah:
Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS
1950
Pembubaran Konstituante
Pembentukan MPRS dan DPAS
[sembunyikan] v t e
Sejarah Indonesia
Periode
Orde Lama Orde Baru Era Reformasi
Sejarah Indonesia.png
Kolonialisme
Kedatangan Portugis-Spanyol (1512–1850) VOC menancapkan
pengaruh (1602-1800) Belanda menundukkan kerajaan-kerajaan Nusantara
(1800–1942)
Nasionalisme
Kebangkitan Nasional (1899-1942) Pendudukan Jepang (PD II)
(1942–1945)
1945–1965
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Revolusi nasional
(1945–1950) Peristiwa 10 November Agresi Militer Belanda I Agresi Militer
Belanda II Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Serangan Umum Surakarta Orde Lama
(1950–1959) Dekret Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Konfrontasi Indonesia-Malaysia Konflik Papua dan Operasi Trikora
1965–1966
Masa transisi/pergolakan politik (1965–1966) Gerakan 30
September Pembantaian di Indonesia 1965-1966 Tritura Supersemar
1966–1998
Surat Perintah Sebelas Maret Orde Baru Operasi Seroja dan
Integrasi Timor Timur Operasi Jaring Merah Peristiwa 27 Juli Tragedi Trisakti
Gerakan mahasiswa Indonesia 1998 Pendudukan Gedung DPR/MPR Kerusuhan Mei 1998
Kejatuhan Soeharto
1998–sekarang
Era Reformasi Pengakuan tanggal
kemerdekaan Indonesia oleh Belanda Perjanjian damai dengan Aceh
Sejarah Indonesia (1959-1966) adalah masa di mana sistem
"Demokrasi Terpimpin" sempat berjalan di Indonesia. Demokrasi terpimpin
adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta pemikiran
berpusat pada pemimpin negara, kala itu Presiden Soekarno. Konsep sistem
Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam
pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Latar belakang
2 Peranan PKI
3 Keterlibatan Amerika Serikat
4 Dampak ke situasi politik
5 Rujukan
Latar belakang[sunting | sunting sumber]
Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh
Presiden Soekarno :
Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis
pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.
Dari segi perekonomian
: Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal
menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan
secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.
Dari segi politik : Konstituante gagal dalam menyusun UUD
baru untuk menggantikan UUDS 1950.
Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden
Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk
menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan
kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya,
diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante .
Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari
pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.
Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa :
269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945
119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945
Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945
tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante
yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah
ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950.
Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan
sebuah dekrit yang disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5
Juli 1959 :
Tidak berlaku kembali UUDS 1950
Berlakunya kembali UUD 1945
Dibubarkannya konstituante
Pembentukan MPRS dan DPAS
Peranan PKI[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Partai Komunis
Indonesia
Partai Komunis Indonesia (PKI) menyambut "Demokrasi
Terpimpin" Soekarno dengan hangat dan anggapan bahwa PKI mempunyai mandat
untuk mengakomodasi persekutuan konsepsi yang sedang marak di Indonesia kala
itu, yaitu antara ideologi nasionalisme, agama (Islam) dan komunisme yang
dinamakan NASAKOM.
Pada tahun 1962, perebutan Irian Barat secara militer oleh
Indonesia yang dilangsungkan dalam Operasi Trikora mendapat dukungan penuh dari
kepemimpinan PKI, mereka juga mendukung penekanan terhadap perlawanan penduduk
adat yang tidak menghendaki integrasi dengan Indonesia.
Keterlibatan Amerika Serikat[sunting | sunting sumber]
Di era Demokrasi Terpimpin, antara tahun 1959 dan tahun
1965, Amerika Serikat memberikan 64 juta dollar dalam bentuk bantuan militer
untuk jenderal-jenderal militer Indonesia. Menurut laporan di media cetak
"Suara Pemuda Indonesia": Sebelum akhir tahun 1960, Amerika Serikat
telah melengkapi 43 batalyon angkatan bersenjata Indonesia. Tiap tahun AS
melatih perwira-perwira militer sayap kanan. Di antara tahun 1956 dan 1959,
lebih dari 200 perwira tingkatan tinggi telah dilatih di AS, dan ratusan
perwira angkatan rendah terlatih setiap tahun. Kepala Badan untuk Pembangunan
Internasional di Amerika pernah sekali mengatakan bahwa bantuan AS, tentu saja
bukan untuk mendukung Soekarno dan bahwa AS telah melatih sejumlah besar
perwira-perwira angkatan bersenjata dan orang sipil yang mau membentuk kesatuan
militer untuk membuat Indonesia sebuah "negara bebas".
Dampak ke situasi politik[sunting | sunting sumber]
Era "Demokrasi Terpimpin" diwarnai kolaborasi
antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani Indonesia. Kolaborasi
ini tetap gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak
Indonesia kala itu. Pendapatan ekspor Indonesia menurun, cadangan devisa
menurun, inflasi terus menaik dan korupsi kaum birokrat dan militer menjadi
wabah sehingga situasi politik Indonesia menjadi sangat labil dan memicu
banyaknya demonstrasi di seluruh Indonesia, terutama dari kalangan buruh,
petani, dan mahasiswa.
Orde Baru
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Orde baru)
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1552 - 1677)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)
l b s
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat
Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal
ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Supersemar dan kebangkitan Soeharto
1.1 Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)
1.2 Tindak lanjut Supersemar
1.3 Pembentukan Kabinet Ampera
2 Kebijakan ekonomi
2.1 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
2.2 Swasembada beras
2.3 Pemerataan kesejahteraan penduduk
3 Penataan Kehidupan Politik
3.1 Pembubaran PKI dan Organisasi massanya
3.2 Penyederhanaan Partai Politik
3.3 Pemilihan Umum
3.4 Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI
3.5 Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
4 Penataan Politik Luar Negeri
4.1 Kembali menjadi anggota PBB
4.2 Normalisasi Hubungan dengan Negara lain
4.2.1 Pemulihan Hubungan dengan Singapura
4.2.2 Pemulihan Hubungan dengan Malaysia
4.2.3 Pembekuan Hubungan dengan RRT
5 Penataan Kehidupan Ekonomi
5.1 Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi
5.2 Kerjasama Luar Negeri
5.3 Pembangunan Nasional
6 Warga Tionghoa
7 Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
8 Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
9 Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
10 Krisis finansial Asia
11 Pasca-Orde Baru
12 Lihat pula
13 Referensi
14 Daftar pustaka
Supersemar dan kebangkitan Soeharto[sunting | sunting
sumber]
Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966
(Supersemar)[sunting | sunting sumber]
Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa
versi. Gambar ini merupakan Supersemar versi Presiden.
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas
Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar
legalitasnya.[1] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh
kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa
pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan
yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang berlangsung.[2] Di tengah acara,
ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak
dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno
menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. J.
Laimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr Subandrio,
dan Waperdam II Chaerul Saleh.[2] Dr. J. Laimena sendiri menyusul presiden
segera setelah sidang berakhir.[2]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor
Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir
Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima
Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden.[2] Segera setelah
mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor
dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[2] Namun, mereka
juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan
ini.[2]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan
surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri
Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin
keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan
negara Republik Indonesia.[2] Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh
tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur,
Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.[2] Surat perintah inilah yang
kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.[2]
Tindak lanjut Supersemar[sunting | sunting sumber]
Letnan Jenderal Soeharto
Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas
Maret, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12
Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan
bagi PKI serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada dengannya
untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia.[2] Keputusan ini kemudian
diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris MPRS
No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[3] Keputusan pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya
mendapat sambutan dan dukungan dari seluruh rakyat karena merupakan salah satu
realisasi dari Tritura.[3]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang
menteri yang dinilai tersangkut dalam G 30 S/PKI dan diragukan etika baiknya
yang dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[3] Ia
kemudian memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan
lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap
terlibat G 30 S/PKI.[3] Keanggotaan PKI dalam MPRS dinyatakan gugur.[3] Peran
dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas
presiden, bukan sebaliknya.[4] Di DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang
anggota yang diberhentikan.[3] Soeharto juga memisahkan jabatan pimpian DPRGR
dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan
sebagai menteri.[3]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang
Umum IV MPRS dengan hasil sebagai berikut:
Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan
Pengukuhan Supersemar.[5]
Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan
Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.[5]
Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan
Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.[5]
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan
Kabinet Ampera.[5]
Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali
Tap. MPRS yang Bertentangan dengan UUD 1945.[5]
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum
RI dan Tata Urutan Perundang-undangan di Indonesia.[5]
Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan
Pernyataan PKI dan Ormas-Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia.[5]
Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal
tegaknya Orde Baru dan dinilai berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat
(tritura), yaitu pembubaran PKI dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur
PKI.[5]
Pembentukan Kabinet Ampera[sunting | sunting sumber]
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto
dengan dukungan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang
diberi nama Kabinet Ampera.[6] Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan
stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama Dwidarma
Kabinet Ampera.[6] Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut
Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[6]
memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang
dan pangan;
melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti
tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk
kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme
dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun
pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal
Soeharto.[6] Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang menjadi kondisi
kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[6]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi
konflik yang semakin memuncak kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan
kepada Jenderal Soeharto.[6] Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden
Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967.[6]
Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan
apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi
sebagai pemegang jabatan presiden.[6] Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto
memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya
penyerahan kekuasaan.[6] Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS
perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.[6] Karena
itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta,
yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik
Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[6]
Kebijakan ekonomi[sunting | sunting sumber]
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)[sunting | sunting
sumber]
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi
kemerosotan ekonomi yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[7]
Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh rendahnya pendapatan perkapita penduduk
Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS, tingginya inflasi yang mencapai
65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik yang terjadi di akhir
pemerintahan Soekarno.[7]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru
membuat program jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang
diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi,
peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang.[8] Program
jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila inflasi dapat
dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi
akan meningkat.[8]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan
untuk pembangunan yang disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita).[8] Repelita pertama yang mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut
fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan pengembangan iklim usaha dan
investasi.[8] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas untuk memenuhi
kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[8] Pembangunan antara
lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi,
perhubungan, teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit
perbankan.[8] Petani juga dibantu melalui penyediaan sarana penunjang utama
seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.[8]
Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata
3% menjadi 6,7% per tahun, pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS
menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat ditekan menjadi 47,8% pada akhir
Repelita I di tahun 1974.[8] Repelita II (1974-1979) dan Repelita III
(1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional, dan
pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[8] Pada tahun 1984, Indonesia
berhasil mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah
satu negara pengimpor beras terbesar di dunia di tahun 1970-an.[8] Fokus
Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V (1989-1994), selain berusaha mempertahankan
kemajuan di sektor pertanian, juga mulai bergerak menitikberatkan pada sektor
industri khususnya industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang
menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang
dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[9]
Swasembada beras[sunting | sunting sumber]
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan
fokusnya pada pengembangan sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan
adalah prasyarat utama kestabilan ekonomi dan politik.[10] Sektor ini
berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian
seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[10] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi
melalui lembaga yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[10]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian
meningkat tajam.[10] Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai
17.156 ribu ton.[10] Jumlah ini berhasil ditingkatkan tiga kali lipat menjadi
47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi beras per jiwa meningkat
dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[10] Prestasi ini merupakan sebuah
prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[10]
Pemerataan kesejahteraan penduduk[sunting | sunting sumber]
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi
dengan pemerataan kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan
kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga
berencana, pendidikan dasar, penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan
sederhana.[10] Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen di setiap pelita.[11]
Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari angka 60% di tahun 1970-an
ke angka 15% di tahun 1990-an.[11] Pendapatan perkapita masyarakat juga naik
dari yang hanya 70 dolar per tahun di tahun 1969, meningkat menjadi 600 dolar
per tahun di tahun 1993.[10]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan
usia harapan hidup, dari yang tadinya 50 tahun di tahun 1970-an menjadi 61
tahun di 1992.[10] Dalam kurun waktu yang sama, angka kematian bayi juga
menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap
1.000 kelahiran hidup.[10] Jumlah penduduk juga berhasil dikendalikan melalui
program Keluarga Berencana (KB).[10] Selama dasawarsa 1970-an, laju pertumbuhan
penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut dapat
diturunkan menjadi 2,0% per tahun.[10]
Penataan Kehidupan Politik[sunting | sunting sumber]
Pembubaran PKI dan Organisasi massanya[sunting | sunting
sumber]
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas
pemerintahan, Soeharto sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan
kebijakan:[butuh rujukan]
Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat
dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966
Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang
dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965.
Penyederhanaan Partai Politik[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang
pertama pada masa Orde Baru pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan dan
penggabungan (fusi) partai- partai politik menjadi tiga kekuatan social
politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak didasarkan pada
kesamaan ideology, tetapi lebih atas persamaan program. Tigakekuatan social
politik itu adalah:[butuh rujukan]
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan
dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan
dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo
Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah
Orde Baru dalam upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pengalaman sejarah pada masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan
pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa Orde Lama, karena adanya
perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta pemahaman
Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
Pemilihan Umum[sunting | sunting sumber]
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam
kali pemilihan umum, yaitu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam
setiap Pemilu yang diselenggarakan selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
selalu memperoleh mayoritas suara dan memenangkan Pemilu.[butuh rujukan] Pada
Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa pemerintahan Orde Baru, Golkar
memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan PPP memperoleh 5,43
%dengan peroleh 27 kursi.[butuh rujukan] Dan PDI mengalami kemorosotan
perolehan suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan adanya konflik intern di
tubuh partai berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan
PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu
yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa
demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan] Apalagi
Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalamkenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontrestan
Pemilu yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971
sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di
MPR dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto
menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde
Baru presiden dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban,
rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat
persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.[butuh rujukan]
Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI[sunting | sunting sumber]
Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru
memberikan peran ganda kepada ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda
ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian
peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang
dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan adalah sama. di
MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa melalui
Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI
didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran
dinamisator sebanarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan.
Waktu itu Jenderal Soedirman telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan,
walaupun pimpinan pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang
dilakukanSoeharto ketika menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S
PKI, yangmelahirkankan Orde Baru. Boleh dikatakan peran dinamisator telah
menempatkan ABRI pada posisiyang terhormat dalam percaturan politik bangsa
selama ini.[butuh rujukan]
Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)[sunting
| sunting sumber]
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan
gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang
terkenal dengan nama Ekaprasatya Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk mendukung pelaksanaan Pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978
pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan
masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama mengenai
demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan
nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini
rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde
Baru.[butuh rujukan] Dan sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai
asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh
menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas
tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan
Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem
sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru,
dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila.
Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri
Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Dan Pancasila dianggap memiliki
kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.[butuh rujukan]
Penataan Politik Luar Negeri[sunting | sunting sumber]
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas
aktif kembali dipulihkan. Dan MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi
landasan politik luar negeri Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri
Indonesia harus didasarkan pada kepentingannasional, seperti pembangunan
nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]
Kembali menjadi anggota PBB[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi
anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh
Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.[butuh rujukan]
Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia
lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam
Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan
Indonesia juga memulihkanhubungan dengan sejumlah negara seperti India,
Thailand, Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat
politik konfrontasi Orde Lama.
Normalisasi Hubungan dengan Negara lain[sunting | sunting
sumber]
Pemulihan Hubungan dengan Singapura[sunting | sunting
sumber]
Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur
Rachman, hubungan Indonesia dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh
rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah Indonesia menyampaikan nota
pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee Kuan Yew.[butuh
rujukan] Dan pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk
mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Pemulihan Hubungan dengan Malaysia[sunting | sunting sumber]
Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan
Indonesia-Malaysia
Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai
dengan diadakannya perundingan di Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang
menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian tersebut adalah:[butuh rujukan]
Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan
yang telah merekaambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan
diplomatik.
Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan
dihentikan.
Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan
pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik
(Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
Pembekuan Hubungan dengan RRT[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia
membekukan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan
tersebut dilakukan karena RRT telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia
dengan cara memberikan bantuan kepada G 30 S PKI baik untuk persiapan,
pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.[butuh rujukan]
Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang
dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah
memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh G 30 S PKI di luar negeri, serta
secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI. Melalui media massanya
RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30 Oktober 1967
Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh
rujukan]
Penataan Kehidupan Ekonomi[sunting | sunting sumber]
Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi[sunting | sunting
sumber]
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai
peninggalan pemerintah Orde Lama, pemerintah Orde Baru melakukan
langkah-langkah:
Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.
Kebijakan ini didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]
MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program
penyelamatan, program stabilisasi dan rehabilitasi.
Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi
nasional, terutama stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan
stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan inflasi agar harga barang-barang
tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah perbaikan secara fisik
sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah pembinaan
sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke arah
terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah
yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:
Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor
yang menyebabkan kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan
ekonomi tersebut adalah:
Rendahnya penerimaan negara.
Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi
pada kebutuhan prasarana.
Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian
Berorientasi pada kepentingan produsen kecil
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut,
maka pemerintah Orde Baru menempuh cara-cara :[butuh rujukan]
Mengadakan operasi pajak
Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi
pendapatan perorangan maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan
menghitung pajak orang.
Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan
rutin), serta menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.
Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.
Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju
inflasi. Dan pemerintah Orde Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir
tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah
dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968, pemerintah mengalihkan
kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak harga barang
khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta
asing sejak tahun 1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan
kemampuan berproduksi. Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde
Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana social dan
ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan
dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok kepentingan tertentu.
Dampaknya lembaga (negara) tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyusun
perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
Kerjasama Luar Negeri[sunting | sunting sumber]
Pertemuan Tokyo
Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah,
pemerintahan Orde Lama juga mewariskan utang luar negeri yang sangat besar
yakni mencapai 2,2-2,7 miliar, sehingga pemerintah Orde Baru meminta
negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran kembali utang Indonesia.
Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia mengadakan perundingan
dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah Indonesia
akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor
bahan-bahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor.
Perundinganpun dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai
berikut[butuh rujukan]
Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari
tahun 1970 sampai dengan 1999.
Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran
tahunan yang sama besarnya.
Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip
nondiskriminatif, baik terhadap negara kreditor maupun terhadap sifat atau
tujuan kredit.
Pertemuan Amsterdam
Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di
Amsterdam, Belanda yang bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan
luar negeri serta kemungkinan pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang
selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group for Indonesia).
Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi kebutuhannya
guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta
persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di samping mengusahakan bantuan
luar negeri tersebut, pemerintah juga berusaha dan telah berhasil mengadakan
penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling)
hutang-hutang peninggalan Orde Lama.[butuh rujukan] Melalui pertemuan tersebut
pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
Pembangunan Nasional[sunting | sunting sumber]
Trilogi Pembangunan
Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa
Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah
melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan nasional yang diupayakan
pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan
Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi
pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu:[butuh rujukan]
Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
Meningkatkan kesejahteraan umum
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial
Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan
pemerintah Orde Baru berpedoman pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur
Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua
lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi Trilogi
Pembangunan adalah :[butuh rujukan]
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada
terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah
Orde Baru adalah:[butuh rujukan]
Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya
pangan, sandang dan perumahan.
Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan
kesehatan
Pemerataan pembagian pendapatan.
Pemerataan kesempatan kerja
Pemerataan kesempatan berusaha
Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan,
khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah
Air
Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.
Pelaksanaan Pembangunan Nasional
Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional
direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka
Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan
Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam
Pelita yaitu:[butuh rujukan]
Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret
1974, dan menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I
adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar
bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan
prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk
mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian,
karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.[butuh
rujukan]
Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai
31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang,
perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan
kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan
Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan
menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[butuh
rujukan]
Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31
Maret 1984.[butuh rujukan] Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi
Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal
dengan Delapan Jalur Pemerataan.
Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret
1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada
pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri
sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal
tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada
Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa
itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan
ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan] Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik
dibanding sebelumnya.
Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program
pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang
melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter
dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah
menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya
pemerintahan Orde Baru.
Warga Tionghoa[sunting | sunting sumber]
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak
tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia
dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga
menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya
Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa
Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan
menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan
terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini
adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama
tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh
rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis.
Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya.[butuh rujukan]
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru[sunting | sunting sumber]
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan
bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan
slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang
dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang
padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.[butuh rujukan] Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai
daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi
terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di
Kalimantan.[12] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa
diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya,
juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru[sunting | sunting
sumber]
Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968
hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]
Sukses transmigrasi
Sukses KB
Sukses memerangi buta huruf
Sukses swasembada pangan
Pengangguran minimum
Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Sukses Gerakan Wajib Belajar
Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
Sukses keamanan dalam negeri
Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam
negeri[butuh rujukan]
Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru[sunting | sunting
sumber]
[butuh rujukan]
Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena
kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena
kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran
yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun
pertamanya
Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang
tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama
masyarakat Tionghoa)
Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran
dan majalah yang dibredel
Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain
dengan program "Penembakan Misterius"
Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke
pemerintah/presiden selanjutnya)
Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit
penyakit Asal Bapak Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena
tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur.[butuh rujukan]
Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk
berpolitik sehingga kurang memperhatikan kesejahteraan anak buah.
Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset
kekayaaan negara dipegang oleh swasta
Dan Lain Sebagainja
Krisis finansial Asia[sunting | sunting sumber]
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan
dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai
kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas
ekspor lainnya yang semakin jatuh.[butuh rujukan] Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang
awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah
gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei
1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh.[butuh
rujukan] Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk
menjadi presiden ketiga Indonesia.
Pasca-Orde Baru[sunting | sunting sumber]
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat
dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era
Reformasi".[butuh rujukan] Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde
Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa
orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde
Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor
Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar
dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia.[butuh rujukan] Hal
ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang
terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
Kerusuhan Mei 1998
Bagian dari Kejatuhan Soeharto
Orang-orang yang menjarah toko etnis Tionghoa pada tanggal
14 Mei
Tanggal 4–8
dan 12–15 Mei 1998
Letak Kerusuhan utama
terjadi di Medan, Jakarta, dan Surakarta.
Sebab Kritik terhadap
pemerintah Orde Baru, dan keruntuhan ekonomi akibat dari krisis finansial Asia
1997.
Hasil Pengunduran
diri Presiden Soeharto dan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah
pimpinan B. J. Habibie
Kerusuhan Mei 1998 is located in Indonesia
Medan
Jakarta
Surakarta
Peta lokasi kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di
Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga
terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial
Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas
Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Kerusuhan
2 Pengusutan dan penyelidikan
2.1 Penuntutan Amandemen KUHP
3 Lihat pula
4 Rujukan
5 Pranala luar
Kerusuhan[sunting | sunting sumber]
Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan
oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1].
Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta.
Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami
pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa
beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan
tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan
Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di
bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi
SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya.
Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini
digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota
tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik
pribumi" atau "Pro-reformasi". Sebagian masyarakat
mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada
tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap
orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas
mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum
mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa
kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa
bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan
tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi
ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat
Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah
lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak
Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap
orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini
merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau
perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.
Pengusutan dan penyelidikan[sunting | sunting sumber]
Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini
mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan TGPF" [4]
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan
pelecehan seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar
penampilannya diduga berlatar belakang militer[5]. Sebagian pihak berspekulasi
bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie
Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi
kerusuhan ini[6][7][8].
Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada
Kejaksaan Agung namun sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari
Kejaksaan Agung.[9]
Penuntutan Amandemen KUHP[sunting | sunting sumber]
Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi
Partisipasi Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan amandemen terhadap Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur
tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin
perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi
sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei
1998), disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam, anal, dan oral.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU
Hukum Pidana.[10]
Tragedi Trisakti
10 Best Pictures For The Most Colorful Season Of All…Amazing
Autumn! | BuzzWok.com | The Best Buzzing Stories Frying In One Place (Buzzwok)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Question book-new.svg
Artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya
sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan
menambahkan referensi yang layak. Tulisan tanpa sumber dapat dipertanyakan dan
dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.
Polisi dan mahasiswa di luar Trisakti
Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal
12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun
dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti
di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978 - 1998),
Heri Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie
(1975 - 1998). Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di
tempat-tempat vital seperti kepala, tenggorokan, dan dada.
Latar belakang dan kejadian[sunting | sunting sumber]
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang
terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun
melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa
Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju
Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari
Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi
dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak
mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai
menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai,
sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus
melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah
Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203,
Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru
Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air
mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas
tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan
membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian
disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan
dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Rentang waktu[sunting | sunting sumber]
Peta situasi Trisakti pada 12 Mei, 1998
10.30 -10.45
Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang
bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai
dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen,
pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang
di depan mimbar.
10.45-11.00
Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan
bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan
bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta
sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia
sekarang ini.
11.00-12.25
Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para
pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus
berjalan dengan baik dan lancar.
12.25-12.30
Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota
aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut
untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke
anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S.
Parman.
12.30-12.40
Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan
depan pintu gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta
memberikan himbauan untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
12.40-12.50
Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara
perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
12.50-13.00
Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk
kantor Walikota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan
tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
13.00-13.20
Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa
wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi
dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan
Wakapolres Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus
berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak
dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah
kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
13.20-13.30
Tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di
mana long march tidak diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya
kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena
mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk
maju. Di lain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat
Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
13.30-14.00
Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di
jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar.
Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan
mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula
datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
14.00-16.45
Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan
Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara
mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian.
Walaupun hujan turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya
saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan
menuju ke kampus.
Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15
meter dari garis tersebut.
16.45-16.55
Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil
kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa
menolak tapi setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi
Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
16.55-17.00
Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan
mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan
tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih
dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres
menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian
membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan
turun dengan deras.
Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula
aparat. Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai
alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar
dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum
tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
17.00-17.05
Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat
sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan
ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua
SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk
mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus
mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing
baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
17.05-18.30
Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus,
di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan
kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali
berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang
aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang
massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa
mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut
terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata
dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan
dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk
Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua
peluru karet dipinggang sebelah kanan.
Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan
rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus
dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya
sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa
mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi
tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan
melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat
yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa
yang berlarian di dalam kampus.
Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat
ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan
berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan
tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun
meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan
satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis.
Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang
luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga
dilemparkan ke dalam kampus.
18.30-19.00
Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa
mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang
berbeda-beda menuju RS.
19.00-19.30
Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa
aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak
jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam
ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti
musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
19.30-20.00
Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani
untuk keluar adari ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta
kepastian pemulangan mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara
Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat
pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per
5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
20.00-23.25
Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat
rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras.
Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.
01.30
Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di
Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie
Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R.
Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W
Soeharto.
sumber: Siaran Pers Senat Mahasiswa Trisakti dan Arsip
berita Kompas 13 Mei 1998
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN
(Dialihkan dari AFTA)
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Question book-new.svg
Artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya
sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan
menambahkan referensi yang layak. Tulisan tanpa sumber dapat dipertanyakan dan
dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.
Tag ini diberikan tanggal Agustus 2013
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (Bahasa Inggris: ASEAN Free
Trade Area, AFTA) adalah sebuah persetujuan oleh ASEAN mengenai sektor produksi
lokal di seluruh negara ASEAN.
Ketika persetujuan AFTA ditandatangani resmi, ASEAN memiliki
enam anggota, iaitu, Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan
Thailand. Vietnam bergabung pada 1995, Laos dan Myanmar pada 1997 dan Kamboja
pada 1999. AFTA sekarang terdiri dari sepuluh negara ASEAN. Keempat pendatang
baru tersebut dibutuhkan untuk menandatangani persetujuan AFTA untuk bergabung
ke dalam ASEAN, namun diberi kelonggaran waktu untuk memenuhi kewajiban
penurunan tarif AFTA.
Tujuan[sunting | sunting sumber]
Meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi dalam
pasar dunia melalui penghapusan bea dan halangan non-bea dalam ASEAN
Menarik investasi asing langsung ke ASEAN
ASEAN Plus Three[sunting | sunting sumber]
ASEAN Plus Three (APT) atau Kerja sama ASEAN Plus Three
(APT) adalah kerjasama antara lain paling menonjol di bidang keuangan terdiri dari
10 anggota ASEAN plus China, Jepang dan Republik Korea. sejak tahun 1997 pada
saat kawasan Asia sedang dilanda krisis ekonomi. Dalam periode 10 (sepuluh)
tahun pertama 1997-2007 mekanisme dan pelaksanaan kerja sama APT didasarkan
pada Joint Statement on East Asia Cooperation. KTT APT pertama berlangsung pada
Desember 1997 di Kuala Lumpur.
Konferensi Asia–Afrika
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kaa)
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Gedung Merdeka saat berlangsungnya Konferensi Asia Afrika
Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika (disingkat KTT Asia
Afrika atau KAA; kadang juga disebut Konferensi Bandung) adalah sebuah
konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh
kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri
Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar
Negeri Indonesia Sunario. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-24 April
1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan
kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau
neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.
Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total
penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan
apa yang mereka pandang sebagai ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk
mengkonsultasikan dengan mereka tentang keputusan-keputusan yang memengaruhi
Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka mengenai ketegangan antara
Republik Rakyat Tiongkok dan Amerika Serikat; keinginan mereka untuk
membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka
dan pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh
Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair; dan
keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan
Belanda mengenai Irian Barat.
Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa
yang disebut Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai
dukungan bagi kerusuhan dan kerjasama dunia". Dasasila Bandung ini
memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru.
Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan
Non-Blok pada 1961.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Kilas balik
2 Pertemuan kedua
3 Peserta
4 Lihat pula
5 Referensi
6 Bacaan lebih lanjut
7 Pranala luar
Kilas balik[sunting | sunting sumber]
Prangko peringatan 50 tahun Konferensi Asia–Afrika
Prangko peringatan 50 tahun Konferensi Asia–Afrika
23 Agustus 1953 - Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
(Indonesia) di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara mengusulkan perlunya kerjasama
antara negara-negara di Asia dan Afrika dalam perdamaian dunia.
25 April–2 Mei 1954 - Berlangsung Persidangan Kolombo di Sri
Lanka. Hadir dalam pertemuan tersebut para pemimpin dari India, Pakistan, Burma
(sekarang Myanmar), dan Indonesia. Dalam konferensi ini Indonesia memberikan
usulan perlunya adanya Konferensi Asia-Afrika.
28–29 Desember 1954 - Untuk mematangkan gagasan masalah
Persidangan Asia-Afrika, diadakan Persidangan Bogor. Dalam persidangan ini
dirumuskan lebih rinci tentang tujuan persidangan, serta siapa saja yang akan
diundang.
18–24 April 1955 - Konferensi Asia-Afrika berlangsung di
Gedung Merdeka, Bandung. Persidangan ini diresmikan oleh Presiden Soekarno dan
diketuai oleh PM Ali Sastroamidjojo. Hasil dari persidangan ini berupa
persetujuan yang dikenal dengan Dasasila Bandung. INDONESIA
Pertemuan kedua[sunting | sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Konferensi Tingkat
Tinggi Asia–Afrika 2005
Untuk memperingati lima puluh tahun sejak pertemuan
bersejarah tersebut, para Kepala Negara negara-negara Asia dan Afrika telah diundang
untuk mengikuti sebuah pertemuan baru di Bandung dan Jakarta antara 19-24 April
2005. Sebagian dari pertemuan itu dilaksanakan di Gedung Merdeka, lokasi
pertemuan lama pada 50 tahun lalu. Sekjen PBB, Kofi Annan juga ikut hadir dalam
pertemuan ini.
Peserta[sunting | sunting sumber]
Pelopor KAA
Ali Sastroamidjojo
Bendera Indonesia Ali Sastroamidjojo
Mohammad Ali Bogra
Bendera Pakistan Mohammad Ali Bogra
Jawaharlal Nehru
Bendera India Jawaharlal Nehru
Sir John Kotelawala
Bendera Sri Lanka Sir John Kotelawala
U Nu
Bendera Myanmar U Nu
Afganistan
Arab Saudi
Burma
Ceylon
Republik Rakyat
Tiongkok
Ethiopia
India
Indonesia
Irak
Iran
Jepang
Kamboja
Laos
Lebanon
Liberia
Libya
Mesir
Nepal
Pakistan
Filipina
Siprus 1
Sudan
Suriah
Thailand
Turki
Republik Demokratik
Vietnam
Negara Vietnam
(Republik Vietnam)
Kerajaan
Mutawakkilīyah Yaman
Yordania
1 Siprus yang belum merdeka dan masih berada dalam
kolonialisme diwakili oleh tokoh yang di kemudian hari menjadi presiden
pertamanya, Makarios III.[1]
Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika 2005
Three Polyamorous Gay Women Are Expecting Their First Child
Together. | BuzzWok.com | The Best Buzzing Stories Frying In One Place
(Buzzwok)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Logo KTT Asia–Afrika 2005.
Konferensi Tingkat Tinggi Asia–Afrika 2005 adalah pertemuan
antara para kepala negara negara-negara Asia dan Afrika yang diadakan di
Jakarta dan Bandung, Indonesia dari 19-24 April 2005. Pembukaan resminya
dilakukan pada 22 April oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Konferensi ini dilaksanakan untuk memperingati 50 tahun
Konferensi Asia-Afrika yang pertama di Bandung pada tahun 1955. Temanya adalah
"Reinvigorating the Bandung Spirit: Working Towards a New Asian-African
Strategic Partnership" (Mengembalikan Semangat Bandung: Bekerja Menuju
Kerjasama Strategis Asia-Afrika yang Baru).
KTT Asia–Afrika 2005 menghasilkan NAASP (New Asian-African
Strategic Partnership, Kerjasama Strategis Asia-Afrika yang Baru), yang
diharapkan akan membawa Asia dan Afrika menuju masa depan yang lebih baik
berdasarkan ketergantungan-sendiri yang kolektif dan untuk memastikan adanya
lingkungan internasional untuk kepentingan para rakyat Asia dan Afrika.
Pertemuan ini dilaksanakan saat adanya ketegangan antara
Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok mengenai dihapuskannya sejarah Jepang yang
kelam pada masa Perang Dunia II dari buku-buku teks Jepang. Kepala negara dari
kedua negara tersebut kemudian bertemu di sela-sela pertemuan itu untuk saling
membicarakan hal tersebut.
Hasil dari KAA 2005 adalah apa yang dikenal dengan nama Nawa
Sila.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Lokasi
2 Peserta
2.1 Asia dan Pasifik
2.2 Afrika
3 Pranala luar
Lokasi[sunting | sunting sumber]
Ada dua tempat yang digunakan untuk penyelenggaraan KTT
tahun 2005 ini:
Jakarta Convention Center, Jakarta
Gedung Merdeka, Bandung - lokasi asli pertemuan 1955
Peserta[sunting | sunting sumber]
KTT Asia-Afrika 2005 diikuti sebanyak 89 kepala
negara/pemerintahan dan utusan khusus dari Asia dan Afrika, 10 perwakilan
organisasi regional/sub-regional, 20 negara lain dan 11 organisasi
internasional, 1.978 delegasi dan 1.426 perwakilan media domestik dan asing.
Para peserta di antaranya adalah Perdana Menteri Jepang,
Junichiro Koizumi, Presiden Tiongkok, Hu Jintao, Sekjen PBB, Kofi Annan,
Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, Presiden Afganistan, Hamid Karzai, Perdana
Menteri Malaysia, Abdullah Ahmad Badawi, Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah dan Presiden
Afrika Selatan, Thabo Mbeki.
Asia dan Pasifik[sunting | sunting sumber]
Afganistan
Arab Saudi
Azerbaijan
Bahrain
Bangladesh
Bhutan
Brunei Darussalam
Filipina
Fiji
India
Indonesia
Iran
Irak
Jepang
Kamboja
Kazakstan
Korea Utara
Korea Selatan
Kuwait
Kirgizia
Laos
Lebanon
Malaysia
Maladewa
Kepulauan Marshall
Mikronesia
Mongolia
Myanmar
Nauru
Nepal
Oman
Pakistan
Palestina
Papua Nugini
Republik Rakyat Tiongkok
Qatar
Samoa
Singapura
Kepulauan Solomon
Sri Lanka
Suriah
Tajikistan
Thailand
Timor Leste
Tonga
Turki
Turkmenistan
Tuvalu
Uni Emirat Arab
Uzbekistan
Vanuatu
Vietnam
Yaman
Yordania
Afrika[sunting | sunting sumber]
Republik Afrika Tengah
Afrika Selatan
Aljazair
Angola
Benin
Botswana
Burkina Faso
Burundi
Chad
Djibouti
Eritrea
Ethiopia
Gabon
Gambia
Ghana
Guinea
Guinea Bissau
Guinea Ekuatorial
Kamerun
Kenya
Komoro
Republik Demokratik Kongo
Kongo
Lesotho
Liberia
Libya
Madagaskar
Malawi
Mali
Maroko
Mauritania
Mauritius
Mesir
Mozambik
Namibia
Niger
Komite Nasional Indonesia Pusat
(sering disingkat dengan KNIP) dibentuk berdasarkan Pasal IV, Aturan Peralihan,
Undang-Undang Dasar 1945 dan dilantik serta mulai bertugas sejak tanggal 29
Agustus 1945 sampai dengan Februari 1950.[1] KNIP merupakan Badan Pembantu
Presiden, yang keanggotaannya terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari
berbagai golongan dan daerah-daerah termasuk mantan Anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.[2]
KNIP ini diakui sebagai cikal
bakal badan legislatif di Indonesia, sehingga tanggal pembentukannya diresmikan
menjadi Hari Jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.[1]
Daftar isi [sembunyikan]
1 Pimpinan dan anggota
2 Badan Pekerja
3 Maklumat Wakil Presiden
4 Sidang-sidang
5 Referensi
5.1 Sumber
5.2 Lihat pula
Pimpinan dan anggota[sunting |
sunting sumber]
Anggota KNIP terdiri dari 137
orang, dimana yang bertindak sebagai pimpinan adalah:[1][2]
Mr. Kasman Singodimedjo - Ketua
M. Sutardjo Kartohadikusumo -
Wakil Ketua I
Mr. J. Latuharhary - Wakil Ketua
II
Adam Malik - Wakil Ketua III
Badan Pekerja[sunting | sunting
sumber]
Berhubung dengan keadaan dalam
negeri yang genting, pekerjaan sehari-hari KNIP dilakukan oleh satu Badan
Pekerja, yang keanggotaannya dipilih dikalangan anggota, dan bertanggung jawab
kepada KNIP. Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) dibentuk tanggal 16 Oktober 1945 yang
diketuai oleh Sutan Sjahrir dan penulis oleh Soepeno dan beranggotakan 28
orang. [3] [4]
Pada tanggal 14 November 1945,
Sutan Syahrir diangkat menjadi Perdana Menteri, sehingga BP-KNIP diketuai oleh
Soepeno dan penulis dr. Abdul Halim. [5]. Kemudian pada tanggal 28 Januari
1948, Soepeno diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda pada Kabinet
Hatta I, sehingga ketua adalah Mr. Assaat Datu Mudo, dan penulis tetap dr.
Abdul Halim. [6]
Pada tanggal 21 Januari 1950, Mr.
Assaat diangkat menjadi Acting Presiden Republik Indonesia dan dr. Abdul Halim
diangkat menjadi Perdana Menteri, serta sebagian besar anggauta BP-KNIP
diangkat menjadi Menteri dalam Kabinet Halim tsb.
BP-KNIP tidak punya kantor tetap,
waktu di Jakarta di Jl. Pejambon dan Jl. Cilacap (1945), waktu di Cirebon di
Grand Hotel Ribberink (1946), waktu di Purworejo di Grand Hotel Van Laar
(1947), dan waktu di Yogyakarta di Gedung Perwakilan Malioboro (1948-1950). [7]
Para anggauta BP-KNIP tercatat
antara lain: Sutan Syahrir, Mohamad Natsir, Soepeno, Mr. Assaat Datuk Mudo, dr.
Abdul Halim, Tan Leng Djie, Soegondo Djojopoespito, Soebadio Sastrosatomo,
Soesilowati, Rangkayo Rasuna Said, Adam Malik, Soekarni, Sarmidi Mangunsarkoro,
Ir. Tandiono Manoe, Nyoto, Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo, Abdoel Moethalib
Sangadji, Hoetomo Soepardan, Mr. A.M. Tamboenan, Mr. I Gusti Pudja, Mr. Lukman
Hakim, Manai Sophiaan, Tadjudin Sutan Makmur, Mr. Mohamad Daljono, Sekarmadji
Kartosoewirjo, Mr. Prawoto Mangkusasmito, Sahjar Tedjasoekmana, I.J. Kasimo,
Mr. Kasman Singodimedjo, Maruto Nitimihardja, Mr. Abdoel Hakim, Hamdani, dll.
[8]
Maklumat Wakil Presiden[sunting |
sunting sumber]
Atas usulan KNIP, dalam sidangnya
pada tanggal 16-17 Oktober 1945 di Balai Muslimin, Jakarta[3], diterbitkan
Maklumat Wakil Presiden Nomor X (dibaca : eks) Tanggal 16 Oktober 1945, yang
dalam diktumnya berbunyi:[2]
“ Bahwa
Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative dan ikut
menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta pekerjaan Komite Nasional
Indonesia Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh
sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab
kepada Komite Nasional Indonesia Pusat. ”
Sejak diterbitkannya Maklumat
Wakil Presiden tersebut, terjadi perubahan-perubahan yang mendasar atas
kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu mulailah lembaran baru
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi kekuasaan legislatif
dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.[2]
Sidang-sidang[sunting | sunting
sumber]
KNIP telah mengadakan
sidang-sidang di antaranya adalah:[1]
Sidang Pleno ke-2 di Jakarta
tanggal 16 - 17 Oktober 1945[4]
Sidang Pleno ke-3 di Jakarta
tanggal 25 - 27 November 1945.[4]
Kota Solo pada tahun 1946,
Sidang Pleno ke-5 di Kota Malang
pada tanggal 25 Februari - 6 Maret 1947[4], dan
Yogyakarta tahun 1949.
1. Pengertian HAM
Menurut UU No 39/1999, HAM adalah
seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dengan akal budinya dan
nuraninya, manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perbuatannya.
Disamping itu, untuk mengimbangi kebebasannya tersebut manusia memiliki
kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
Kebebasan dasar dan hak-hak dasar
itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang secara kodratnya melekat pada diri
manusia sejak manusia dalam kandungan yang membuat manusia sadar akan
jatidirinya dan membuat manusia hidup bahagia. Setiap manusia dalam
kenyataannyalahir dan hidup di masyarakat. Dalam perkembangan sejarah tampak
bahwa Hak Asasi Manusia memperoleh maknanya dan berkembang setelah kehidupan
masyarakat makin berkembang khususnya setelah terbentuk Negara. Kenyataan
tersebut mengakibatkan munculnya kesadaran akan perlunya Hak Asasi Manusia
dipertahankan terhadap bahaya-bahaya yng timbul akibat adanya Negara, apabila
memang pengembangan diri dan kebahagiaan manusia menjadi tujuan.
Berdasarkan penelitian hak
manusia itu tumbuh dan berkembang pada waktu Hak Asasi Manusia itu oleh manusia
mulai diperhatikan terhadap serangan atau bahaya yang timbul dari kekuasaan
yang dimiliki oleh Negara. Negara Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
dan kewajiban dasar manusia. Hak secara kodrati melekat dan tidak dapat
dipisahkan dari manusia, karena tanpanya manusia kehilangan harkat dan
kemanusiaan. Oleh karena itu, Republik Indonesia termasuk pemerintah Republik
Indonesia berkewajiban secara hokum, politik, ekonomi, social dan moral untuk
melindungi, memajukan dan mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya Hak
Asasi Manusia dan kebebasan dasar manusia.
2. Landasan Hukum Hak Asasi
Manusia di Indonesia
Bangsa Indonesia mempunyai
pandangan dan sikap mengenai Hak Asasi Manusia yang bersumber dari ajaran
agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan
pada Pancasila dan Undang-undang dasar 1945.
Pengakuan, jaminan, dan
perlindungan Hak Asasi Manusia tersebut diatur dalam beberapa peraturan
perundangan berikut:
A. Pancasila
a) Pengakuan harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b) Pengakuan bahwa kita sederajat
dalam mengemban kewajiban dan memiliki hak yang sama serta menghormati sesamam
manusia tanpa membedakan keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan social, warna kulit, suku dan bangsa.
c) Mengemban sikap saling
mencintai sesamam manusia, sikap tenggang rasa, dan sikap tida sewenang-wenang
terhadap orang lain.
d) Selalu bekerja sama, hormat
menghormati dan selalu berusaha menolong sesame.
e) Mengemban sikap berani membela
kebenaran dan keadilan serta sikap adil dan jujur.
f) Menyadari bahwa manusia sama
derajatnya sehingga manusia Indonesia merasa dirinya bagian dari seluruh umat
manusia.
B. Dalam Pembukaan UUD 1945
Menyatakan bahwa “ kemerdekaan
itu adalah hak segala bangsa, dan oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan”. Ini
adalah suatu pernyataan universal karena semua bangsa ingin merdeka. Bahkan,
didalm bangsa yang merdeka, juga ada rakyat yang ingin merdeka, yakni bebas
dari penindasan oleh penguasa, kelompok atau manusia lainnya.
C. Dalam Batang Tubuh UUD 1945
a) Persamaan kedudukan warga
Negara dalam hokum dan pemerintahan (pasal 27 ayat 1)
b) Hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2)
c) Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul (pasal 28)
d) Hak mengeluarkan pikiran
dengan lisan atau tulisan (pasal 28)
e) Kebebasan memeluk agama dan
beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaanya itu (pasal 29 ayat 2)
f) hak memperoleh pendidikan dan
pengajaran (pasal 31 ayat 1)
g) BAB XA pasal 28 a s.d 28 j
tentang Hak Asasi Manusia
D. Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
a) Bahwa setiap hak asasi
seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati HAM
orang lain secara timbale balik.
b) Dalm menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orangbwajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh
UU.
E. Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Untuk ikut serta memelihara
perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan HAM serta member I perlindungan,
kepastian, keadilan, dan perasaan aman kepada masyarakat, perlu segera dibentuk
suatu pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yan berat.
F. Hukum Internasional tentang
HAM yang telah Diratifikasi Negara RI
a) Undang- undang republic
Indonesia No 5 Tahun 1998 tentang pengesahan (Konvensi menentang penyiksaan dan
perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, ridak manusiawi, atau merendahkan
martabat orang lain.
b) Undang-undang Nomor 8 tahun
1984 tentang pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita.
c) Deklarasi sedunia tentang Hak
Asasi Manusia Tahun 1948 (Declaration Universal of Human Rights).
3. Macam-Macam Hak Asasi Manusia
a) Hak asasi pribadi / personal
Right
• Hak kebebasan untuk bergerak,
bepergian dan berpindah-pndah tempat
• Hak kebebasan mengeluarkan atau
menyatakan pendapat
• Hak kebebasan memilih dan aktif
di organisasi atau perkumpulan
• Hak kebebasan untuk memilih,
memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing
b) Hak asasi politik / Political
Right
• Hak untuk memilih dan dipilih
dalam suatu pemilihan
• Hak ikut serta dalam kegiatan
pemerintahan
• Hak membuat dan mendirikan
parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
• Hak untuk membuat dan
mengajukan suatu usulan petisi
c) Hak azasi hukum / Legal
Equality Right
• Hak mendapatkan perlakuan yang
sama dalam hukum dan pemerintahan
• Hak untuk menjadi pegawai
negeri sipil / pns
• Hak mendapat layanan dan
perlindungan hokum
d) Hak azasi Ekonomi / Property
Rigths
• Hak kebebasan melakukan
kegiatan jual beli
• Hak kebebasan mengadakan
perjanjian kontrak
• Hak kebebasan menyelenggarakan
sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
• Hak kebebasan untuk memiliki
susuatu
• Hak memiliki dan mendapatkan
pekerjaan yang layak
e) Hak Asasi Peradilan /
Procedural Rights
• Hak mendapat pembelaan hukum di
pengadilan
• Hak persamaan atas perlakuan
penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
f) Hak asasi sosial budaya /
Social Culture Right
• Hak menentukan, memilih dan
mendapatkan pendidikan
• Hak mendapatkan pengajaran
• Hak untuk
mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Organisasi Perdagangan Dunia (bahasa
Inggris: WTO, World Trade Organization) adalah organisasi internasional yang
mengawasi banyak persetujuan yang mendefinisikan "aturan perdagangan"
di antara anggotanya (WTO, 2004a). Didirikan pada 1 Januari 1995 untuk
menggantikan GATT, persetujuan setelah Perang Dunia II untuk meniadakan
hambatan perdagangan internasional. Prinsip dan persetujuan GATT diambil oleh
WTO, yang bertugas untuk mendaftar dan memperluasnya.
WTO merupakan pelanjut Organisasi
Perdagangan Internasional (ITO, International Trade Organization). ITO
disetujui oleh PBB dalam Konferensi Dagang dan Karyawan di Havana pada Maret
1948, namun ditutup oleh Senat AS (WTO, 2004b).
WTO bermarkas di Jenewa, Swiss.
Direktur Jendral sekarang ini adalah Pascal Lamy (sejak 1 September 2005). Pada
Juli 2008 organisasi ini memiliki 153 negara anggota. Seluruh anggota WTO
diharuskan memberikan satu sama lain status negara paling disukai, sehingga
pemberian keuntungan yang diberikan kepada sebuah anggota WTO kepada negara
lain harus diberikan ke seluruh anggota WTO (WTO, 2004c).
Pada akhir 1990-an, WTO menjadi
target protes oleh gerakan anti-globalisasi.
WTO memiliki berbagai kesepakatan
perdagangan yang telah dibuat, namun kesepakatan tersebut sebenarnya bukanlah
kesepakatan yang sebenarnya. Karena kesepakatan tersebut adalah pemaksaan
kehendak oleh WTO kepada negara-negara untuk tunduk kepada keputusan-keputusan
yang WTO buat.
Privatisasi pada prinsip WTO
memegang peranan sungguh penting. Privatisasi berada di top list dalam tujuan
WTO. Privatisasi yang didukung oleh WTO akan membuat peraturan-peraturan
pemerintah sulit untuk mengaturnya. WTO membuat sebuah peraturan secara global
sehingga penerapan peraturan-peraturan tersebut di setiap negara belum tentulah
cocok. Namun, meskipun peraturan tersebut dirasa tidak cocok bagi negara
tersebut, negara itu harus tetap mematuhinya, jika tidak, negara tersebut dapat
terkena sanksi ekonomi oleh WTO.
Negara-negara yang tidak
menginginkan keputusan-keputusan yang dirasa tidak fair, tetap tidak dapat
memberikan suaranya. Karena pencapaian suatu keputusan dalam WTO tidak
berdasarkan konsensus dari seluruh anggota. Merupakan sebuah rahasia umum bahwa
empat kubu besar dalam WTO (Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan Uni Eropa) lah
yang memegang peranan untuk pengambilan keputusan. Pertemuan-pertemuan besar
antara seluruh anggota hanya dilakukan untuk mendengarkan pendapat-pendapat
yang ada tanpa menghasilkan keputusan. Pengambilan keputusan dilakukan di
sebuah tempat yang diberi nama "Green Room". Green Room ini adalah
kumpulan negara-negara yang biasa bertemu dalam Ministerial Conference (selama
2 tahun sekali), negara-negara besar yang umumnya negara maju dan memiliki
kepentingan pribadi untuk memperbesar cakupan perdagangannya. Negara-negara
berkembang tidak dapat mengeluarkan suara untuk pengambilan keputusan.
Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila (P4)/Eka Prasetya Pancakarsa adalah sebuah panduan tentang
pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru. Panduan P4
dibentuk dengan Ketetapan MPR no. II/MPR/1978. Ketetapan MPR no.
II/MPR/1978tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam
Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan
Pancasila. Saat ini produk hukum ini tidak berlaku lagi karena Ketetapan MPR
no. II/MPR/1978 telah dicabut dengan Ketetapan MPR no XVIII/MPR/1998 dan
termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai
dilaksanakan menurut Ketetapan MPR no. I/MPR/2003
Dalam perjalanannya 36 butir
pancasila dikembangkan lagi menjadi 45 butir oleh BP7. Tidak pernah
dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan
dalam keseharian warga Indonesia.
=== Sila pertama'''' ===
Bintang.
Bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Manusia Indonesia percaya dan
takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Mengembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan
yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Membina kerukunan hidup di antara
sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mengembangkan sikap saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing.
Tidak memaksakan suatu agama dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Daftar isi [sembunyikan]
1 Sila kedua
2 Sila ketiga
3 Sila keempat
4 Sila kelima
Sila kedua[sunting | sunting
sumber]
Rantai.
Mengakui dan memperlakukan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa.
Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku,
keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya.
Mengembangkan sikap saling
mencintai sesama manusia.
Mengembangkan sikap saling
tenggang rasa dan tepa selira.
Mengembangkan sikap tidak
semena-mena terhadap orang lain.
Menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
Berani membela kebenaran dan
keadilan.
Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
Mengembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Sila ketiga[sunting | sunting
sumber]
Pohon Beringin.
Mampu menempatkan persatuan,
kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sanggup dan rela berkorban untuk
kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
Mengembangkan rasa cinta kepada
tanah air dan bangsa.
Mengembangkan rasa kebanggaan
berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
Memelihara ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Mengembangkan persatuan Indonesia
atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Memajukan pergaulan demi persatuan
dan kesatuan bangsa.
Sila keempat[sunting | sunting
sumber]
Kepala Banteng
Sebagai warga negara dan warga
masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban
yang sama.
Tidak boleh memaksakan kehendak
kepada orang lain.
Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Musyawarah untuk mencapai mufakat
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
Menghormati dan menjunjung tinggi
setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
Dengan iktikad baik dan rasa
tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
Di dalam musyawarah diutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Musyawarah dilakukan dengan akal
sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Keputusan yang diambil harus
dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Memberikan kepercayaan kepada
wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
Sila kelima[sunting | sunting
sumber]
Padi Dan Kapas.
Mengembangkan perbuatan yang
luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Mengembangkan sikap adil terhadap
sesama.
Menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
Menghormati hak orang lain.
Suka memberi pertolongan kepada
orang lain agar dapat berdiri sendiri.
Tidak menggunakan hak milik untuk
usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
Tidak menggunakan hak milik untuk
hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
Tidak menggunakan hak milik untuk
bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
Suka bekerja keras.
Suka menghargai hasil karya orang
lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Suka melakukan kegiatan dalam
rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Pancasila Dalam Kehidupan
Sehari-hari
Nilai-nilai yang terkandung dalam
pancasila dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
dari Sila ke I sampai Sila Sila ke V yang harus diaplikasikan atau dijabarkan
dalam setiap kegiatan pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut (
Soejadi, 1999 : 88- 90) :
Dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
terkandung nilai religius, antara lain :
Kepercayaan terhadap adanya Tuhan
Yang Maha Esa sebagai pencipta segala sesuatu dengan sifat-sifat yang sempurna
dan suci seperti Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bijaksana dan
sebagainya;
Ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, yakni menjalankan semua perintah- NYA dan menjauhi
larangan-larangannya. Dalam memanfaatkan semua potensi yang diberikan oleh
Tuhan Yang Maha Pemurah manusia harus menyadari, bahwa setiap benda dan makhluk
yang ada di sekeliling manusia merupakan amanat Tuhan yang harus dijaga dengan
sebaik-baiknya; harus dirawat agar tidak rusak dan harus memperhatikan
kepentingan orang lain dan makhluk-makhluk Tuhan yang lain.
Penerapan Sila ini dalam
kehidupan sehari-hari yaitu:
misalnya menyayangi binatang;
menyayangi tumbuhtumbuhan dan merawatnya; selalu menjaga kebersihan dan
sebagainya. Dalam Islam bahkan ditekankan, bahwa Allah tidak suka pada
orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, tetapi Allah senang terhadap
orang-orang yang selalu bertakwa dan selalu berbuat baik. Lingkungan hidup
Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa
Indonesia merupakan karunia dan rahmat-NYA yang wajib dilestarikan dan
dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber dan penunjang hidup
bagi rakyat dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainya demi kelangsungan
dan peningkatan kualitas Hidup itu sendiri.
Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab terkandung nilai-nilai perikemanusiaan yang harus diperhatikan dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini antara lain sebagai berikut :
-Pengakuan adanya harkat dan
martabat manusia dengan sehala hak dan kewajiban asasinya;
-Perlakuan yang adil terhdap
sesama manusia, terhadap diri sendiri, alam sekitar dan terhadap Tuhan;
-Manusia sebagai makhluk beradab
atau berbudaya yang memiliki daya cipta, rasa, karsa dan keyakinan.
Penerapan, pengamalan/ aplikasi
sila ini dalam kehidupan sehari hari
yaitu:
dapat diwujudkan dalam bentuk
kepedulian akan hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik
dan sehat; hak setiap orang untuk mendapatkan informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup; hak setiap orang
untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan
ketentuanketentuan hukum yang berlaku dan sebagainya (Koesnadi Hardjasoemantri,
2000 : 558). Dalam hal ini banyak yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk
mengamalkan Sila ini, misalnya mengadakan pengendalian tingkat polusi udara
agar udara yang dihirup bisa tetap nyaman; menjaga kelestarian tumbuh-tumbuhan
yang ada di lingkungan sekitar; mengadakan gerakan penghijauan dan sebagainya.
Nilai-nilai Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab ini ternyata mendapat
penjabaran dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 di atas, antara lain dalam
Pasal 5 ayat (1) sampai ayat (3); Pasal 6 ayat (1) sampai ayat (2) dan Pasal 7
ayat (1) sampai ayat (2). Dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan, bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat; dalam ayat
(2) dikatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup
yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup; dalam ayat (3)
dinyatakan, bahwa setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) dikatakan, bahwa setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan dalam ayat (2) ditegaskan, bahwa
setiap orang yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan berkewajiban memberikan
informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Dalam
Pasal 7 ayat (1) ditegaskan, bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama
dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup; dalam
ayat (2) ditegaskan, bahwa ketentuan pada ayat (1) di atas dilakukan dengan
cara :
Meningkatkan kemandirian,
keberdayaan masyarakat dan kemitraan;
Menumbuhkembangkan kemampauan dan
kepeloporan masyarakat;
Menumbuhkan ketanggapsegeraan
masya-rakat untuk melakukan pengwasan sosial;
Memberikan saran pendapat;
Menyampaikan informasi dan/atau
menyam-paikan laporan
Dalam Sila Persatuan Indonesia
terkandung nilai persatuan bangsa, dalam arti dalam hal-hal yang menyangkut
persatuan bangsa patut diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut :
-Persatuan Indonesia adalah
persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia serta wajib membela dan
menjunjung tinggi (patriotisme);
-Pengakuan terhadap
kebhinekatunggalikaan suku bangsa (etnis) dan kebudayaan bangsa (berbeda-beda
namun satu jiwa) yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan bangsa;
-Cinta dan bangga akan bangsa dan
Negara Indonesia (nasionalisme).
Penerapan sila ini dalam kehidupan
sehari-hari, antara lain:
dengan melakukan inventarisasi
tata nilai tradisional yang harus selalu diperhitungkan dalam pengambilan
kebijaksanaan dan pengendalian pembangunan lingkungan di daerah dan
mengembangkannya melalui pendidikan dan latihan serta penerangan dan penyuluhan
dalam pengenalan tata nilai tradisional dan tata nilai agama yang mendorong
perilaku manusia untuk melindungi sumber daya dan lingkungan (Salladien dalam
Burhan Bungin dan Laely Widjajati , 1992 : 156-158). Di beberapa daerah tidak
sedikit yang mempunyai ajaran turun temurun mewarisi nilai-nilai leluhur agar
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh ketentuan-ketentuan adat
di daerah yang bersangkutan, misalnya ada larangan untuk menebang pohon-pohon
tertentu tanpa ijin sesepuh adat; ada juga yang dilarang memakan
binatang-bintang tertentu yang sangat dihormati pada kehidupan masyarakat yang
bersangkutan dan sebagainya. Secara tidak langsung sebenarnya ajaran-ajaran
nenek leluhur ini ikut secara aktif melindungi kelestarian alam dan kelestarian
lingkungan di daerah itu. Bukankah hal ini sudah mengamalkan Pancasila dalam
kehidupan masyarakat yang bersangkutan sehari-hari.
Dalam Sila Kerakyatan Yang
Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan terkandung
nilainilai kerakyatan. Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dicermati,
yakni:
-Kedaulatan negara adalah di
tangan rakyat;
-Pimpinan kerakyatan adalah
hikmat kebijaksanaan yang dilandasi akal sehat;
-Manusia Indonesia sebagai warga
negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama;
-Keputusan diambil berdasarkan
musyawarah untuk mufakat oleh wakilwakil rakyat.
Penerapan sila ini bisa dilakukan
dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain (Koesnadi Hardjasoemantri, 2000 :
560 ) :
Mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil
keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
Mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat
dalam pengelolaan lingkungan hidup;
Mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan dan meningkatkan kemitraan
masyarakat, dunia usaha dan
pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
Dalam Sila Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia terkandung nilai keadilan sosial. Dalam hal ini harus
diperhatikan beberapa aspek berikut, antara lain :
Perlakuan yang adil di segala
bidang kehidupan terutama di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya;
Perwujudan keadilan sosial itu
meliputi seluruh rakyat Indonesia;
Keseimbangan antara hak dan
kewajiban, menghormati hak milik orang lain;
-Cita-cita masyarakat yang adil
dan makmur yang merata material spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia;
-Cinta akan kemajuan dan
pembangunan.
Penerapan sila ini tampak dalam
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur masalah lingkungan hidup. Sebagai
contoh, dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN), Bagian H yang mengatur aspekaspek pengelolaan lingkungan
hidup dan pemanfaatan sumber daya alam. Dalam ketetapan MPR ini hal itu diatur
sebagai berikut (Penabur Ilmu, 1999 : 40) :
Mengelola sumber daya alam dan
memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat
dari generasi ke generasi;
Meningkatkan pemanfaatan sumber
daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan
penghematan pengunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan;
Mendelegasikan secara betahap
wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan
pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan ling-kungan
hidup, sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan
undangundang;
Mendayagunakan sumber daya alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian
fungsi dan keseim-bangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,
kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang yang
pengaturannya diatur dengan undang-undang;
Menerapkan indikator-indikator
yang memungkinkan pelestarian kemampuan
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau
biasa disingkat PBB (bahasa Inggris: United Nations atau disingkat UN) adalah
sebuah organisasi internasional yang anggotanya hampir seluruh negara di dunia.
Lembaga ini dibentuk untuk memfasilitasi dalam hukum internasional, keamanan
internasional, pengembangan ekonomi, perlindungan sosial, hak asasi dan
pencapaian perdamaian dunia.
Perserikatan Bangsa-bangsa
didirikan di San Francisco pada 24 Oktober 1945 setelah Konferensi Dumbarton
Oaks di Washington DC[2], namun Sidang Umum yang pertama - dihadiri wakil dari
51 negara - baru berlangsung pada 10 Januari 1946 (di Church House, London).
Dari 1919 hingga 1946, terdapat sebuah organisasi yang mirip, bernama Liga
Bangsa-Bangsa, yang bisa dianggap sebagai pendahulu PBB.
Sejak didirikan pada tahun 1945
hingga 2011, sudah ada 193 negara yang bergabung menjadi anggota PBB, termasuk
semua negara yang menyatakan kemerdekaannya masing-masing dan diakui
kedaulatannya secara internasional, kecuali Vatikan.[3] Selain negara anggota,
beberapa organisasi internasional dan organisasi antar-negara mendapat tempat
sebagai pengamat permanen yang mempunyai kantor di Markas Besar PBB, dan ada
juga yang hanya berstatus sebagai pengamat [4].Palestina dan Vatikan adalah
negara bukan anggota (non-member states) dan termasuk pengamat permanen (Tahta
Suci mempunyai wakil permanen di PBB, sedangkan Palestina mempunyai kantor
permanen di PBB)[5]
Sekretaris Jenderal PBB saat ini
adalah Ban Ki-moon asal Korea Selatan yang menjabat sejak 1 Januari 2007 ,
menggantikan Sekretaris Jendral terdahulu, yaitu Kofi Annan dari Ghana. [6]
Organisasi ini memiliki enam
organ utama [7]: Majelis Umum (majelis musyawarah utama)[8],Dewan Keamanan
(untuk memutuskan resolusi tertentu untuk perdamaian dan keamanan),Dewan
Ekonomi dan Sosial (untuk membantu dalam mempromosikan kerjasama ekonomi,
sosial internasional dan pembangunan)[9], Sekretariat (untuk menyediakan studi,
informasi dan fasilitas yang diperlukan oleh PBB)[10], Mahkamah Internasional
(organ peradilan primer), Dewan Perwalian (yang saat ini tidak aktif).[11]
Instansi Sistem PBB lainnya yang
menonjol termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Program Pangan Dunia (WFP)
dan Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF). Tokoh masyrakat PBB
yang paling terkenal mungkin adalah Sekretaris Jenderal PBB, saat ini Ban
Ki-moon dari Korea Selatan, yang mengambil jabatan itu pada tahun 2007,
menggantikan Kofi Annan. Organisasi ini didanai dari sumbangan yang ditaksir
dan sukarela dari negara-negara anggotanya, dan memiliki enam bahasa resmi:
Arab, Tionghoa, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol[12]
Daftar isi [sembunyikan]
1 Sejarah
2 Dasar hukum pendirian
3 Organisasi
3.1 Majelis Umum
3.2 Dewan Keamanan
3.3 Sekretariat
3.3.1 Sekretaris Jenderal
3.4 Mahkamah Internasional
3.5 Dewan Ekonomi dan Sosial
3.6 Lembaga khusus
4 Negara anggota
4.1 Kelompok 77
5 Tujuan Lain
5.1 Pemeliharaan perdamaian dan
keamanan
5.2 Hak asasi manusia dan bantuan
kemanusiaan
5.3 Sosial dan pembangunan
ekonomi
5.4 Mandat
5.5 Lainnya
6 Pendanaan
7 Kebijakan Personil
8 Reformasi
9 Efektivitas
10 Lihat pula
11 Catatan kaki
12 Pranala luar
Sejarah[sunting | sunting sumber]
Penandatanganan Piagam PBB di San
Francisco, 1945.
Liga Bangsa-Bangsa dianggap gagal
mencegah meletusnya Perang Dunia II (1939-1945). Untuk mencegah meletusnya
Perang Dunia Ketiga, yang mana tidak diinginkan oleh seluruh umat manusia, pada
tahun 1945 PBB didirikan untuk menggantikan Liga Bangsa-Bangsa yang gagal dalam
rangka untuk memelihara perdamaian internasional dan meningkatkan kerjasama
dalam memecahkan masalah ekonomi, sosial dan kemanusiaan internasional.
Rencana konkrit awal untuk
organisasi dunia baru ini dimulai di bawah naungan Departemen Luar Negeri AS
pada tahun 1939. Franklin D. Roosevelt dipercaya sebagai seorang yang pertama
menciptakan istilah "United Nations" atau Perserikatan Bangsa-Bangsa
sebagai istilah untuk menggambarkan negara-negara Sekutu. Istilah ini pertama
kali secara resmi digunakan pada 1 Januari 1942, ketika 26 pemerintah
menandatangani Piagam Atlantik, dimana masing-masing negara berjanji untuk
melanjutkan usaha perang.
Pada tanggal 25 April 1945,
Konferensi PBB tentang Organisasi Internasional dimulai di San Francisco,
dihadiri oleh 50 pemerintah dan sejumlah organisasi non-pemerintah yang
terlibat dalam penyusunan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB resmi dibentuk
pada 24 Oktober 1945 atas ratifikasi Piagam oleh lima anggota tetap Dewan
Keamanan-Perancis, Republik Tiongkok, Uni Soviet, Inggris dan Amerika
Serikat-dan mayoritas dari 46 anggota lainnya. Sidang Umum pertama, dengan 51
wakil negara, dan Dewan Keamanan, diadakan di Westminster Central Hall di
London pada Januari 1946.[13]
Kedudukan organisasi ini awalnya
menggunakan bangunan milik Sperry Gyroscope Corporation di Lake Success, New
York, mulai dari 1946 hingga 1952. Sampai gedung Markas Besar PBB di Manhattan
telah selesai dibangun.
Sejak pendiriannya, banyak
kontroversi dan kritik tertuju pada PBB. Di Amerika Serikat, saingan awal PBB
adalah John Birch Society, yang memulai kampanye "get US out of the
UN" pada tahun 1959, dan menuduh bahwa tujuan PBB adalah mendirikan
"One World Government" atau Pemerintah Seluruh Dunia.
Setelah Perang Dunia Kedua
berakhir, Komite Kemerdekaan Perancis terlambat diakui oleh AS sebagai
pemerintah resmi Perancis, sehingga Perancis awalnya tidak diikutsertakan dalam
konferensi yang membahas pembentukan PBB. Charles de Gaulle menyindir PBB
dengan menyebutnya le machin (dalam bahasa Indonesia: "Si Itu"), dan
merasa tidak yakin bahwa aliansi keamanan global akan membantu menjaga
perdamaian dunia, dia lebih percaya pada perjanjian/pakta pertahanan antar
negara secara langsung.[14]
Dasar hukum pendirian[sunting |
sunting sumber]
Tak lama setelah berdirinya PBB
mencari pengakuan sebagai badan hukum internasional supaya bisa menerima
"Ganti Rugi Kepada PBB Atas Cidera yang Dideritanya"[15] dengan
disertai pendapat dari Mahkamah Internasional (ICJ). Pertanyaan yang muncul
adalah "Apakah PBB, sebagai organisasi, memiliki hak untuk meminta klaim
internasional terhadap pemerintahan tertentu terkait cedera yang diderita oleh
PBB, yang diduga telah disebabkan oleh negara/pemerintahan tersebut."
Pengadilan menyatakan: Organisasi
ini (PBB) berniat melaksanakan hak dan kewajiban, dan pada kenyataannya memang
mampu melaksanakan kewajiban dan menerima hak tertentu yang hanya mungkin dapat
dijelaskan jika memiliki kapasitas kepribadian internasional yang besar dan
mampu untuk beroperasi dalam ranah internasional. ... Dengan demikian,
Pengadilan telah sampai pada kesimpulan bahwa Organisasi ini (PBB) adalah Badan
Hukum Internasional.
Organisasi[sunting | sunting
sumber]
Sistem PBB berdasarkan lima organ
utama (sebelumnya enam--Dewan Perwalian dihentikan operasinya pada tahun 1994,
setelah kemerdekaan Palau, satu-satunya wilayah perwalian PBB yang
tersisa)[16]; Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Dewan Sosial
(ECOSOC), Sekretariat, dan Mahkamah Internasional. Lima dari enam organ utama
Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa
berkedudukan di wilayah internasional di kota New York. Mahkamah Internasional
berkedudukan di Den Haag, sementara lembaga-lembaga besar lainnya berbasis di
kantor PBB di Jenewa, Wina, dan Nairobi. Lembaga PBB lainnya tersebar di
seluruh dunia.
Enam bahasa resmi PBB, yang
digunakan dalam pertemuan antar pemerintah dan pembuatan dokumen-dokumen,
adalah Arab, Tionghoa, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol. Sekretariat dan
Dewan Keamanan menggunakan dua bahasa kerja, bahasa Inggris dan Perancis,
sedangkan Majelis Umum menggunakan tiga bahasa kerja, bahasa Inggris, Perancis
dan Spanyol[17]. Empat dari bahasa resmi adalah bahasa nasional dari anggota
tetap Dewan Keamanan (Britania Raya dan Amerika Serikat masing-masing menggukanan
bahasa Inggris sebagai bahasa resmi secara de facto), Spanyol dan Arab adalah
bahasa dari dua blok terbesar bahasa resmi di luar dari anggota permanen
(Spanyol merupakan bahasa resmi di 20 negara, sedangkan Arab di 26). Lima dari
bahasa resmi dipilih ketika PBB didirikan; Arab ditambahkan kemudian pada tahun
1973. Editorial PBB Manual menyatakan bahwa standar untuk dokumen-dokumen
bahasa Inggris adalah menggunakan Bahasa Inggris dari Inggris (British-English)
dalam Ejaan Oxford, standar penulisan Bahasa Tionghoa menggunakan Hanzi
sederhana, sebelumnya menggunakan Hanzi tradisional sampai pada tahun 1971
ketika representasi PBB untuk "Tiongkok" berubah dari Republik
Tiongkok ke Republik Rakyat Tiongkok.
Majelis Umum[sunting | sunting
sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
Majelis Umum adalah majelis
permusyawaratan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Terdiri dari semua negara
anggota PBB, majelis bertemu setiap tahun di bawah pimpinan yang dipilih dari
negara-negara anggota. Selama periode dua minggu awal setiap sesi, semua
anggota memiliki kesempatan untuk berpidato di hadapan majelis. Biasanya
Sekretaris Jenderal melakukan pidato pertama, diikuti oleh pimpinan dewan.
Sidang pertama diadakan pada tanggal 10 Januari 1946 di Westminster Central
Hall di London dan dihadiri oleh wakil dari 51 negara.
Ketika Majelis Umum mengadakan
pemilihan pada masalah-masalah penting, minimal diperlukan dua pertiga suara
dari seluruh anggota yang hadir. Contoh masalah penting ini termasuk:
rekomendasi tentang perdamaian dan keamanan; pemilihan anggota untuk badan PBB;
pemasukan, suspensi, dan pengusiran anggota; dan hal-hal anggaran. Sedang
masalah-masalah lain yang ditentukan cukup oleh suara mayoritas. Setiap negara anggota
memiliki satu suara. Selain hal-hal persetujuan anggaran, resolusi tidak
mengikat pada anggota. Majelis dapat membuat rekomendasi mengenai setiap
masalah dalam lingkup PBB, kecuali masalah perdamaian dan keamanan yang berada
di bawah pertimbangan Dewan Keamanan.
Dapat dibayangkan, dengan
struktur satu negara memiliki satu suara maka dapat terjadi negara-negara yang
mewakili dari hanya delapan persen populasi mampu meloloskan resolusi dengan
suara dua-pertiga (lihat Daftar negara menurut jumlah penduduk). Namun, karena
resolusi ini tidak lebih dari sekedar rekomendasi, sulit dibayangkan situasi
dimana ketika rekomendasi dari delapan persen populasi dunia akan diikuti oleh
sembilan puluh dua persen lainnhya, jika mereka semua menolak resolusi tersebut.
Dewan Keamanan[sunting | sunting
sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Ruangan Dewan Keamanan PBB
Dewan Keamanan ditugaskan untuk
menjaga perdamaian dan keamanan antar negara.[18] Jika organ-organ lain dari
PBB hanya bisa membuat 'rekomendasi' untuk pemerintah negara anggota, Dewan
Keamanan memiliki kekuatan untuk membuat keputusan yang mengikat bahwa
pemerintah negara anggota telah sepakat untuk melaksanakan, menurut ketentuan
Piagam Pasal 25.[19] Keputusan Dewan dikenal sebagai Resolusi Dewan Keamanan
PBB.
Dewan Keamanan terdiri dari 15
negara anggota, yang terdiri dari 5 anggota tetap—Tiongkok, Prancis, Rusia,
Inggris dan Amerika Serikat—dan 10 anggota tidak tetap, saat ini , Bosnia dan
Herzegovina, Brasil, Kolombia, Gabon, Jepang, Jerman, India, Lebanon, Nigeria,
Portugal, dan Afrika Selatan[20]. Lima anggota tetap memegang hak veto terhadap
resolusi substantif tetapi tidak prosedural, dan memungkinkan anggota tetap
untuk memblokir adopsi tetapi tidak berkuasa untuk memblokir perdebatan
resolusi tidak dapat diterima untuk itu. Sepuluh kursi sementara diadakan
selama dua tahun masa jabatan dengan negara-negara anggota dipilih oleh Majelis
Umum secara regional. Presiden Dewan Keamanan diputar secara abjad setiap
bulan.
Sekretariat[sunting | sunting
sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa
Gedung Sekretariat PBB di markas
PBB di New York City.
Sekretariat PBB dipimpin oleh
seorang Sekretaris Jenderal PBB, dibantu oleh suatu staf pegawai sipil
internasional dari seluruh dunia. Tugas utama seorang Sekretaris-Jenderal
adalah menyediakan penelitian, informasi, dan fasilitas yang diperlukan oleh
badan-badan PBB untuk pertemuan mereka. Dia juga membawa tugas seperti yang
diperintahkan oleh Dewan Keamanan PBB, Majelis Umum PBB, Dewan Ekonomi dan
Sosial PBB, dan badan PBB lainnya. Piagam PBB menjelaskan bahwa staf yang akan
dipilih oleh penerapan "standar tertinggi efisiensi, kompetensi, dan
integritas," dengan memperhatikan pentingnya merekrut luas secara
geografis.
Piagam menetapkan bahwa staf
tidak akan meminta atau menerima instruksi dari otoritas lain selain PBB.
Setiap negara anggota PBB diperintahkan untuk menghormati karakter
internasional dari Sekretariat dan tidak berusaha untuk memengaruhi para
stafnya. Sekretaris Jenderal sendiri bertanggung jawab untuk pemilihan staf.
Tugas Sekretaris-Jenderal
termasuk membantu menyelesaikan sengketa internasional, administrasi operasi
penjaga perdamaian, menyelenggarakan konperensi internasional, mengumpulkan
informasi tentang pelaksanaan keputusan Dewan Keamanan, dan konsultasi dengan
pemerintah anggota mengenai berbagai inisiatif. Sekretariat kunci kantor di
daerah ini termasuk Kantor Koordinator Urusan Kemanusiaan dan Departemen
Operasi Penjaga Perdamaian. Sekretaris-Jenderal dapat membawa kepada perhatian
Dewan Keamanan setiap masalah yang, menurut nya, bisa mengancam perdamaian dan
keamanan internasional.
Sekretaris Jenderal[sunting |
sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Sekretaris Jenderal PBB
Sekretaris Jenderal saat ini, Ban
Ki-moon dari Korea Selatan.
Sekretariat dipimpin oleh
Sekretaris Jenderal PBB, yang bertindak sebagai juru bicara de facto dan
pemimpin PBB. Sekretaris Jenderal saat ini Ban Ki-moon, yang mengambil alih
dari Kofi Annan pada tahun 2007 dan akan memenuhi syarat untuk pengangkatan
kembali ketika masa jabatan pertamanya berakhir pada tahun 2011.[21]
Dibayangkan oleh Franklin D.
Roosevelt sebagai "moderator dunia", posisi ini ditetapkan dalam
Piagam PBB sebagai "kepala pegawai administrasi" organisasi, [22]
tetapi Piagam juga menyatakan bahwa Sekretaris Jenderal dapat membawa ke
perhatian Dewan Keamanan "setiap masalah yang menurut pendapatnya dapat
mengancam pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional"[23],
memberikan ruang lingkup yang lebih besar untuk posisi aksi di panggung dunia.
Posisi ini telah berkembang menjadi peran ganda dari administrator organisasi
PBB, dan seorang diplomat dan mediator menangani yang sengketa antara
negara-negara anggota dan menemukan konsensus dalam menangani isu-isu global.
Sekretaris Jenderal diangkat oleh
Majelis Umum, setelah direkomendasikan oleh Dewan Keamanan, setiap anggota yang
dapat memveto[24], dan Majelis Umum secara teoritis dapat mengabaikan
rekomendasi Dewan Keamanan jika suara mayoritas tidak tercapai, meskipun smapai
sekarang hal ini tidak terjadi. Pada 1996, Dewan Keamanan mengadopsi
seperangkat pedoman untuk proses seleksi yang dicetuskan oleh Duta Permanen
Indonesia untuk PBB pada waktu itu, Nugroho Wisnumurti. Pedoman Wisnumurti
(Wisnumurti Guidelines) telah mempengaruhi proses seleksi, termasuk penggunaan
surat suara berkode warna untuk memilih kandidat [25]. Tidak ada kriteria
khusus untuk jabatan tersebut, tetapi selama bertahun-tahun, telah diterima
bahwa jabatan itu bisa dijabat untuk jangka satu atau dua dari lima tahun, dan
akan diangkat pada dasar rotasi geografis, dan bahwa Sekretaris-Jenderal tidak
berasal dari salah satu lima negara anggota tetap Dewan Keamanan.[26]
Sekretaris-Jenderal PBB[27]
No. Nama Asal negara Mulai menjabat Selesai
menjabat Catatan
1 Trygve
Lie Norwegia 2 Februari 1946 10 November 1952 Mundur
2 Dag
Hammarskjöld Swedia 10 April 1953 18 September 1961 Meninggal
sewaktu menjabat
3 U
Thant Burma 30 November 1961 1
Januari 1972 Sekjen
pertama dari Asia
4 Kurt
Waldheim Austria 1 Januari 1972 1
Januari 1982
5 Javier
Pérez de Cuéllar Peru 1 Januari 1982 1 January 1992 Sekjen
pertama dari Amerika
6 Boutros
Boutros-Ghali Mesir 1 Januari 1992 1
Januari 1997 Sekjen
pertama dari Afrika
7 Kofi
Annan Ghana 1 Januari 1997 1 Januari 2007
8 Ban
Ki-moon Korea Selatan 1 Januari 2007 Petahana
Mahkamah Internasional[sunting |
sunting sumber]
Istana Perdamaian, markas
Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.
!Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Mahkamah Internasional
Pengadilan Internasional (ICJ),
yang terletak di Den Haag, Belanda, adalah badan peradilan utama Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Didirikan pada tahun 1945 oleh Piagam PBB, Pengadilan mulai bekerja
pada tahun 1946 sebagai penerus ke Mahkamah Tetap Kehakiman Internasional.
Statuta Mahkamah Internasional, mirip dengan pendahulunya, adalah dokumen utama
yang merupakan konstitusional dan mengatur Pengadilan.
Hal ini didasarkan di Istana
Perdamaian di Den Haag, Belanda, berbagi gedung dengan Akademi Hukum
Internasional Den Haag, pusat swasta untuk studi hukum internasional. Beberapa
saat hakim Pengadilan adalah baik alumni atau anggota fakultas mantan Academy.
Tujuannya adalah untuk mengadili sengketa antara negara. Pengadilan telah
mendengar kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan perang, campur tangan
negara ilegal dan pembersihan etnis, antara lain, dan terus untuk mendengar
kasus-kasus.
Sebuah pengadilan yang terkait,
Mahkamah Pidana Internasional (ICC), mulai beroperasi pada tahun 2002 melalui
diskusi internasional yang diprakarsai oleh Majelis Umum. Ini adalah pengadilan
internasional pertama tetap dikenakan dengan mencoba mereka yang melakukan
kejahatan yang paling serius di bawah hukum internasional, termasuk kejahatan
perang dan genosida. ICC secara fungsional independen dari PBB dalam hal
personel dan pendanaan, tetapi beberapa pertemuan badan ICC yang mengatur,
Majelis Negara Pihak pada Statuta Roma, diadakan di PBB. Ada "hubungan
perjanjian" antara ICC dan PBB yang mengatur bagaimana kedua lembaga
menganggap satu sama lain secara sah.
Dewan Ekonomi dan Sosial[sunting
| sunting sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa
Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC)
membantu Majelis Umum dalam mempromosikan kerjasama ekonomi dan sosial
internasional dan pembangunan. ECOSOC memiliki 54 anggota, yang semuanya
dipilih oleh Majelis Umum untuk masa jabatan tiga tahun. Presiden dipilih untuk
jangka waktu satu tahun dan dipilah di antara kekuatan kecil atau menengah yang
berada di ECOSOC. ECOSOC bertemu sekali setahun pada bulan Juli untuk sesi
empat minggu. Sejak tahun 1998, ia telah mengadakan pertemuan lain setiap bulan
April dengan menteri keuangan yang menduduki komite kunci dari Bank Dunia dan
Dana Moneter Internasional (IMF). Dilihat terpisah dari badan-badan khusus yang
ia koordinasi, fungsi ECOSOC mencakup pengumpulan informasi, menasihati negara
anggota, dan membuat rekomendasi. Selain itu, ECOSOC mempunyai posisi yang baik
untuk memberikan koherensi kebijakan dan mengkoordinasikan fungsi tumpang
tindih dari badan anak PBB dan dalam peran-peran inilah ECOSOC yang paling
aktif.
Lembaga khusus[sunting | sunting
sumber]
Ada banyak organisasi dan
badan-badan PBB yang berfungsi untuk bekerja pada isu-isu tertentu. Beberapa
lembaga yang paling terkenal adalah Badan Energi Atom Internasional, Organisasi
Pangan dan Pertanian, UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa), Bank Dunia dan Organisasi Kesehatan
Dunia.
Hal ini melalui badan-badan PBB
yang melakukan sebagian besar pekerjaan kemanusiaan. Contohnya termasuk program
vaksinasi massal (melalui WHO), menghindari kelaparan dan gizi buruk (melalui
karya WFP) dan perlindungan masyarakat rentan dan pengungsi (misalnya, oleh
UNHCR).
Piagam PBB menyatakan bahwa
setiap organ utama PBB dapat membangun berbagai badan khusus untuk memenuhi
tugasnya.
Lembaga khusus PBB
No. Akronim Bendera Lembaga Pusat Kepala Berdiri
1 FAO
Organisasi Pangan dan Pertanian
Organisasi Pangan dan Pertanian Bendera Italia
Roma, Italia Bendera Brasil José
Graziano da Silva 1945
2 IAEA
Badan Tenaga Atom Internasional
Badan Tenaga Atom Internasional Bendera Austria Wina,
Austria Bendera Jepang Yukiya Amano 1957
3 ICAO
Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional
Organisasi Penerbangan Sipil
Internasional Bendera Kanada
Montreal, Kanada Bendera Perancis
Raymond Benjamin 1947
4 IFAD Dana
Internasional untuk Pengembangan Pertanian Bendera
Italia Roma, Italia Bendera Nigeria
Kanayo F. Nwanze 1977
5 ILO
Organisasi Buruh Internasional
Organisasi Buruh Internasional Bendera Swiss
Jenewa, Swiss Bendera Britania Raya Guy
Ryder 1946
(1919)
6 IMO
Organisasi Maritim Internasional
Organisasi Maritim Internasional Bendera Britania
Raya London, Britania Raya Bendera Jepang
Koji Sekimizu 1948
7 IMF Dana
Moneter Internasional Bendera Amerika
Serikat Washington, D.C., AS Bendera
Perancis Christine Lagarde 1945
(1944)
8 ITU
Uni Telekomunikasi Internasional
Uni Telekomunikasi Internasional Bendera Swiss
Jenewa, Swiss Bendera Mali Hamadoun
Touré 1947
(1865)
9 UNESCO
Organisasi Pendidikan, Keilmuan,
dan Kebudayaan PBB
Organisasi Pendidikan, Keilmuan,
dan Kebudayaan PBB Bendera Perancis
Paris, Perancis Bendera Bulgaria
Irina Bokova 1946
10 UNIDO Organisasi
Pengembangan Industri Perserikatan Bangsa-Bangsa Bendera
Austria Wina, Austria Bendera Sierra
Leone Kandeh Yumkella 1967
11 UNWTO Organisasi
Pariwisata Dunia Bendera Spanyol Madrid,
Spanyol Bendera
Yordania Taleb Rifai 1974
12 UPU
Kesatuan Pos Sedunia
Kesatuan Pos Sedunia Bendera
Swiss Bern, Swiss Bendera Perancis
Edouard Dayan 1947
(1874)
13 WB Bank
Dunia Bendera Amerika Serikat
Washington, D.C., AS Bendera
Amerika Serikat Jim Yong Kim 1945
(1944)
14 WFP
Program Pangan Dunia
Program Pangan Dunia Bendera
Italia Roma, Italia Bendera Amerika
Serikat Ertharin Cousin 1963
15 WHO
Organisasi Kesehatan Dunia
Organisasi Kesehatan Dunia Bendera
Swiss Jenewa, Swiss Bendera Hong Kong
Margaret Chan 1948
16 WIPO Organisasi
Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia Bendera
Swiss Jenewa, Swiss Bendera Australia
Francis Gurry 1974
17 WMO
Organisasi Meteorologi Dunia
Organisasi Meteorologi Dunia Bendera Swiss
Jenewa, Swiss Bendera Rusia Alexander
Bedritsky 1950
(1873)
Negara anggota[sunting | sunting
sumber]
!Artikel utama untuk bagian ini
adalah: Daftar anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
Dengan penambahan Sudan Selatan
pada tanggal 14 Juli 2011, saat ini ada 193 negara anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa, termasuk semua negara yang menyatakan kemerdekaannya
masing-masing dan diakui kedaulatannya secara internasional, kecuali Vatikan
(Tahta Suci, yang memegang kedaulatan atas Vatikan, adalah pengamat
permanen).[28]
Piagam PBB menguraikan aturan
untuk keanggotaan:
Keanggotaan di PBB terbuka untuk
semua negara cinta damai lainnya yang menerima kewajiban yang termuat dalam
Piagam ini dan, menurut penilaian Organisasi, mampu dan mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban ini.
Penerimaan dari negara tersebut
kepada keanggotaan di PBB akan dipengaruhi oleh keputusan Majelis Umum atas
rekomendasi Dewan Keamanan.[29]
Kelompok 77[sunting | sunting
sumber]
Kelompok 77 di PBB merupakan
koalisi longgar dari negara-negara berkembang, yang dirancang untuk
mempromosikan kepentingan kolektif ekonomi anggotanya dan menciptakan kemampuan
bernegosiasi bersama di PBB yang disempurnakan. Ada 77 anggota pendiri
organisasi, namun organisasi akhirnya diperluas menjadi 130 negara anggota.
Kelompok ini didirikan pada tanggal 15 Juni 1964 oleh "Deklarasi Bersama
Tujuh puluh Tujuh Negara" yang dikeluarkan pada Konferensi PBB tentang
Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD). Pertemuan pertama dilaksanakan di Aljir
pada tahun 1967, dimana Piagam Aljir diadopsi dan dasar untuk struktur
kelembagaan permanen dimulai.
Tujuan Lain[sunting | sunting
sumber]
Pemeliharaan perdamaian dan
keamanan[sunting | sunting sumber]
Misi penjaga perdamaian PBB
sampai dengan tahun 2009. Biru tua menandakan misi yang sedang berlangsung,
sedangkan biru muda menandakan misi yang lalu.
PBB, setelah disetujui oleh Dewan
Keamanan, mengirim pasukan penjaga perdamaian ke daerah dimana konflik
bersenjata baru-baru ini berhenti atau berhenti sejenak untuk menegakkan
persyaratan perjanjian perdamaian dan untuk mencegah pejuang dari kedua belah
pihak melanjutkan permusuhan. Karena PBB tidak memelihara militer sendiri,
pasukan perdamaian secara sukarela disediakan oleh negara-negara anggota PBB.
Pasukan, juga disebut "Helm Biru", yang menegakkan kesepakatan PBB,
diberikan Medali PBB, yang dianggap dekorasi internasional bukan dekorasi
militer. Pasukan penjaga perdamaian secara keseluruhan menerima Hadiah Nobel
Perdamaian pada tahun 1988.[30]
Para pendiri PBB telah
mempertimbangkan bahwa organisasi itu akan bertindak untuk mencegah konflik
antara negara dan membuat perang pada masa depan tidak mungkin, namun pecahnya
Perang Dingin membuat perjanjian perdamaian sangat sulit karena pembagian dunia
ke dalam kamp-kamp yang bermusuhan. Menyusul akhir Perang Dingin, ada seruan
baru bagi PBB untuk menjadi agen untuk mencapai perdamaian dunia, karena ada
beberapa lusin konflik berkelanjutan yang terus berlangsung di seluruh dunia.
Sebuah studi tahun 2005 oleh RAND
Corp menyatakan PBB sukses di dua dari tiga upaya perdamaian. Ini dibandingkan
dengan upaya pembangunan bangsa orang-orang dari Amerika Serikat, dan menemukan
bahwa tujuh dari delapan kasus PBB damai, dibandingkan dengan empat dari
delapan kasus AS damai[31]. Juga pada tahun 2005, Laporan Keamanan Manusia
mendokumentasikan penurunan jumlah perang, genosida dan pelanggaran HAM sejak
akhir Perang Dingin, dan bukti, meskipun tidak langsung, bahwa aktivisme
internasional-kebanyakan dipelopori oleh PBB-telah menjadi penyebab utama
penurunan konflik bersenjata sejak akhir Perang Dingin[32]. Situasi di mana PBB
tidak hanya bertindak untuk menjaga perdamaian, tetapi juga kadang-kadang
campur tangan termasuk Perang Korea (1950-1953), dan otorisasi intervensi di
Irak setelah Perang Teluk Persia di 1990.
PBB juga dikkritik untuk hal-hal
yang dirasakan sebagai kegagalan. Dalam banyak kasus, negara-negara anggota
telah menunjukkan keengganan untuk mencapai atau melaksanakan resolusi Dewan
Keamanan, sebuah masalah yang berasal dari sifat PBB sebagai organisasi antar
pemerintah—dilihat oleh beberapa orang sebagai hanya sebuah asosiasi dari 192
negara anggota yang harus mencapai konsensus, bukan sebuah organisasi
independen. Perselisihan dalam Dewan Keamanan tentang aksi militer dan
intervensi dipandang sebagai kegagalan untuk mencegah Genosida Rwanda 1994,
gagal untuk menyediakan bantuan kemanusiaan dan campur tangan dalam Perang
Kongo Kedua, gagal untuk campur tangan dalam pembantaian Srebrenica tahun 1995
dan melindungi pengungsi surga dengan mengesahkan pasukan penjaga perdamaian ke
menggunakan kekuatan, kegagalan untuk memberikan makanan untuk orang kelaparan
di Somalia, kegagalan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan resolusi Dewan
Keamanan yang berhubungan dengan konflik Israel-Palestina, dan terus gagal
untuk mencegah genosida atau memberikan bantuan di Darfur. pasukan penjaga
perdamaian PBB juga telah dituduh melakukan pemerkosaan anak, pelecehan seksual
atau menggunakan pelacur selama misi penjaga perdamaian , dimulai pada tahun
2003, di Kongo[33], Haiti[34], Liberia, Sudan[35], Burundi dan Pantai
Gading[36]. Pada tahun 2004, mantan Duta Besar Israel untuk PBB Dore Gold
mengkritik apa yang disebutnya relativisme moral milik organisasi dalam
menghadapi (dan sesekali mendukung) genosida dan terorisme yang terjadi di
antara kejelasan moral antara periode pendirian dan hari ini. Gold juga khusus
menyebutkan undangan Yasser Arafat tahun 1988 untuk berbicara dengan Majelis
Umum sebagai titik yang rendah dalam sejarah PBB.
Selain perdamaian, PBB juga aktif
dalam mendorong perlucutan senjata. Peraturan persenjataan juga dimasukkan
dalam penulisan Piagam PBB tahun 1945 dan dilihat sebagai cara untuk membatasi
penggunaan sumber daya manusia dan ekonomi untuk menciptakan mereka[37]. Namun,
munculnya senjata nuklir yang datang hanya beberapa minggu setelah
penandatanganan piagam segera menghentikan konsep keterbatasan senjata dan
perlucutan senjata, menghasilkan resolusi pertama dari pertemuan pertama
Majelis Umum yang meminta proposal khusus untuk "penghapusan senjata atom
dari persenjataan nasional dan semua senjata besar lainnya yang bisa digunakan
sebagai pemusnah massal "[38]. Forum-forum utama untuk masalah perlucutan
senjata adalah Komite Pertama Majelis Umum, Komisi Perlucutan Senjata PBB, dan
Konferensi Perlucutan Senjata, dan pertimbangan telah dilakukan tentang manfaat
larangan pengujian senjata nuklir, pengawasan senjata luar angkasa, pelarangan
senjata kimia dan ranjau darat, perlucutan senjata nuklir dan senjata
konvensional, zona bebas-senjata-nuklir, pengurangan anggaran militer, dan
langkah-langkah untuk memperkuat keamanan internasional.
PBB adalah salah satu pendukung
resmi Forum Keamanan Dunia (World Security Forum), sebuah konferensi
internasional besar tentang efek dari bencana global dan bencana, yang terjadi
di Uni Emirat Arab, pada bulan Oktober 2008.
Pada 5 November 2010 Ivor
Ichikowitz, pendiri dan ketua eksekutif Paramount Group, mendukung seruan
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon untuk dukungan, pelatihan dan peralatan
yang lebih banyak untuk pasukan penjaga perdamaian Afrika. Ichikowitz
mengatakan bahwa pasukan Uni Afrika harus mendapat dukungan yang sama dengan
pasukan PBB.[39]
Hak asasi manusia dan bantuan
kemanusiaan[sunting | sunting sumber]
Eleanor Roosevelt dengan
Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia pada tahun 1949.
Penegakan hak asasi manusia
merupakan alasan utama untuk didirikannya PBB. Kekejaman dan genosida pada
Perang Dunia II menyebabkan munculnya konsensus bahwa organisasi baru ini harus
bekerja untuk mencegah tragedi serupa pada masa mendatang. Tujuan awal adalah
menciptakan kerangka hukum untuk mempertimbangkan dan bertindak atas keluhan
tentang pelanggaran hak asasi manusia. Piagam PBB mewajibkan semua negara
anggota untuk mempromosikan "penghargaan universal bagi, dan kepatuhan
terhadap, hak asasi manusia" dan mengambil "tindakan bersama dan
terpisah" untuk itu. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, meskipun tidak
mengikat secara hukum, diadopsi oleh Majelis Umum pada tahun 1948 sebagai satu
standar umum keberhasilan untuk semua. Majelis secara teratur mengambil isu-isu
hak asasi manusia.
PBB dan lembaga-lembaganya adalah
badan penting dalam menegakkan dan melaksanakan prinsip-prinsip yang diabadikan
dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Salah satu contoh adalah
dukungan oleh PBB untuk negara-negara dalam transisi menuju demokrasi. Bantuan
teknis dalam memberikan pemilu yang bebas dan adil, meningkatkan struktur
peradilan, penyusunan konstitusi, pelatihan pejabat hak asasi manusia, dan
mengubah gerakan bersenjata menjadi partai politik telah memberikan kontribusi
signifikan terhadap demokratisasi di seluruh dunia. PBB telah membantu
pemilihan berjalan di negara-negara dengan sedikit atau tanpa sejarah
demokrasi, termasuk baru-baru ini di Afghanistan dan Timor Timur. PBB juga
merupakan forum untuk mendukung hak perempuan untuk berpartisipasi secara penuh
dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial negara mereka. PBB memberikan
kontribusi untuk meningkatkan kesadaran konsep hak asasi manusia melalui
perjanjian dan perhatiannya terhadap pelanggaran yang spesifik melalui Majelis
Umum, resolusi Dewan Keamanan resolusi, atau Mahkamah Internasional.
Dewan Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang didirikan pada tahun 2006[40] bertujuan untuk
mengatasi pelanggaran hak asasi manusia. Dewan adalah penerus Komisi Hak Asasi
Manusia PBB, yang sering dikritik karena memberikan jabatan tinggi kepada
negara-negara anggota yang tidak menjamin hak-hak asasi warga negara mereka
sendiri.[41] Dewan ini memiliki 47 anggota didistribusikan secara wilayah,
dengan masing-masing masa jabatan tiga tahun, dan tidak mungkin menjabat selama
tiga kali berturut-turut.[42] Sebuah kandidat untuk Dewan Hak Asasi Manusia
harus disetujui oleh mayoritas Majelis Umum. Selain itu, dewan memiliki aturan
ketat untuk keanggotaan, termasuk peninjauan hak asasi manusia universal.
Sementara beberapa anggota dengan catatan hak asasi manusia yang dipertanyakan
telah dipilih, hal ini lebih sedikit dari sebelumnya dengan fokus peningkatan
pada catatan hak asasi manusia masing-masing negara anggota.[43]
Hak beberapa 370 juta masyarakat
adat di seluruh dunia juga merupakan suatu fokus untuk PBB, dengan Deklarasi
tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang disetujui oleh Majelis Umum pada tahun
2007.[44] Deklarasi ini menguraikan hak-hak individu dan kolektif untuk budaya
, bahasa, pendidikan, identitas, pekerjaan dan kesehatan, menyikapi isu-isu
pasca-kolonial yang dihadapi masyarakat adat selama berabad-abad. Deklarasi
tersebut bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat dan mendorong pertumbuhan
adat, budaya institusi dan tradisi. Deklarasi ini juga melarang diskriminasi
terhadap masyarakat adat dan mendorong partisipasi aktif mereka dalam hal-hal
yang menyangkut masa lalu, masa sekarang dan masa depan mereka.
Dalam hubungannya dengan
organisasi lain seperti Palang Merah, PBB menyediakan makanan, air minum,
tempat tinggal dan pelayanan kemanusiaan lainnya untuk orang-orang yang
menderita kelaparan, pengungsi akibat perang, atau yang terkena bencana
lainnya.[45] Cabang kemanusiaan utama dari PBB adalah Program Pangan Dunia
(yang membantu pakan lebih dari 90 juta orang[46] di 73 negara[47]), kantor
Komisaris Tinggi untuk Pengungsi dengan proyek-proyek di lebih dari 116 negara,
serta proyek-proyek penjaga perdamaian di lebih dari 24 negara.[48]
Sosial dan pembangunan
ekonomi[sunting | sunting sumber]
Sasaran Pembangunan Milenium
memberantas kemiskinan ekstrim
dan kelaparan;
mencapai pendidikan dasar
universal;
mempromosikan kesetaraan gender
dan memberdayakan perempuan;
mengurangi angka kematian anak;
meningkatkan kesehatan ibu;
memerangi HIV / AIDS, malaria,
dan penyakit lainnya;
menjamin kelestarian lingkungan;
dan
mengembangkan kemitraan global
untuk pembangunan.
PBB terlibat dalam mendukung
pembangunan, misalnya oleh perumusan Pembangunan Milenium. Badan Program Pembangunan
(UNDP) adalah sumber multilateral terbesar untuk bantuan hibah teknis di dunia.
Organisasi seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UNAIDS, dan Dana Global
untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis dan Malaria merupakan lembaga pemimpin dalam
pertempuran melawan penyakit di seluruh dunia, terutama di negara-negara
miskin. Dana Kependudukan PBB merupakan penyedia utama layanan reproduksi. 32
agen PBB yang bertujuan untuk memajukan pembangunan mengkoordinasi usaha-usaha
mereka lewat Kelompok Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNDG.[49]
PBB juga mempromosikan
pengembangan manusia melalui berbagai instansi terkait, terutama oleh UNDP.
Kelompok Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, bersifat
independen, dan merupakan badan khusus dan pengamat dalam kerangka PBB, menurut
suatu perjanjian pada tahun 1947. Mereka awalnya dibentuk terpisah dari PBB
melalui Perjanjian Bretton Woods tahun 1944.
PBB setiap tahun menerbitkan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), beberapa negara mengukur perbandingan
peringkat oleh kemiskinan, melek huruf, pendidikan, harapan hidup, dan faktor
lainnya.
Sasaran Pembangunan Milenium
adalah delapan tujuan yang telah disepakati seluruh negara anggota PBB untuk
mencoba mencapai pada tahun 2015. Dideklarasikan pada Deklarasi Milenium PBB
yang ditandatangani pada bulan September 2000.
Mandat[sunting | sunting sumber]
Dari waktu ke waktu, tubuh yang
berbeda dari PBB mengeluarkan resolusi yang mengandung paragraf operasi yang
dimulai dengan "permintaan" kata-kata, "menyerukan", atau
"mendorong", yang Sekretaris Jenderal menafsirkan sebagai mandat
untuk membentuk organisasi sementara atau melakukan sesuatu. Mandat ini bisa
sesedikit meneliti dan menerbitkan laporan tertulis, atau mounting operasi
pemeliharaan perdamaian besar-besaran (biasanya domain eksklusif Dewan
Keamanan).
Meskipun lembaga-lembaga khusus,
seperti WHO, yang awalnya dibentuk oleh cara ini, mereka tidak sama dengan
mandat karena mereka adalah organisasi permanen yang ada secara independen dari
PBB dengan struktur keanggotaan mereka sendiri. Orang bisa mengatakan bahwa
mandat asli hanya untuk menutupi proses pembentukan lembaga tersebut, dan oleh
karenanya lama kadaluarsa. Sebagian besar mandat berakhir setelah jangka waktu
yang terbatas dan membutuhkan perpanjangan dari tubuh, yang mengaturnya.
Salah satu hasil dari KTT Dunia
2005 adalah mandat (berlabel id 17171) untuk Sekretaris-Jenderal untuk
"meninjau semua mandat yang lebih tua dari lima tahun yang berasal dari
resolusi Majelis Umum dan organ tubuh lainnya". Untuk memfasilitasi review
ini dan akhirnya membawa koherensi kepada organisasi, Sekretariat telah
menghasilkan sebuah registri on-line mandat untuk menggambar bersama laporan
yang berkaitan dengan masing-masing dan menciptakan gambaran keseluruhan.
Lainnya[sunting | sunting sumber]
Selama masa hidup PBB, lebih dari
80 koloni telah mencapai kemerdekaan. Majelis Umum mengadopsi Deklarasi tentang
Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Masyarakat Kolonial pada tahun 1960
tanpa suara yang menantang tetapi semua kekuatan kolonial utama memilih
abstain. Melalui Komite PBB tentang Dekolonisasi, yang didirikan pada tahun
1962, PBB telah memfokuskan perhatian pada dekolonisasi. Hal ini juga didukung
negara-negara baru yang berdiri sebagai akibat dari inisiatif penentuan nasib
sendiri. Komite telah mengawasi dekolonisasi setiap negara lebih besar dari
20.000 km ² dan menghapus mereka dari daftar PBB Wilayah Yang Tidak Memerintah
Sendiri, selain Sahara Barat, sebuah negara lebih besar dari Inggris yang baru
dilepaskan oleh Spanyol pada tahun 1975.
PBB menyatakan dan mengkoordinasi
hari peringatan internasional, periode waktu untuk mengamati beberapa isu atau
masalah kepentingan internasional. Menggunakan simbolisme PBB, sebuah logo yang
dirancang khusus untuk tahun ini, dan infrastruktur Sistem PBB, berbagai hari
dan tahun-tahun telah menjadi katalisator untuk mendorong isu-isu kunci yang
menjadi perhatian dalam skala global. Sebagai contoh, Hari Tuberkulosis
Sedunia, Hari Bumi dan Tahun Internasional Gurun dan Desertifikasi.
Pendanaan[sunting | sunting
sumber]
10 besar donatur di PBB, 2011[50]
Negara anggota Kontribusi
(% dari anggaran UN)
Amerika Serikat 22,000%
Jepang 12,530%
Jerman 8,018%
Britania Raya 6,604
Perancis 6,123%
Italia 4,999%
Kanada 3,207%
Spanyol 2,968%
Tiongkok 3,189%
Meksiko 2,356%
Negara anggota lainnya 27,797%
PBB dibiayai dari sumbangan yang
dinilai dan bersifat sukarela dari negara-negara anggotanya. Majelis Umum
menyetujui anggaran rutin dan menentukan sumbangan untuk setiap anggota. Hal
ini secara luas berdasarkan kapasitas relatif kemampuan membayar dari
masing-masing negara, yang diukur dengan Pendapatan Nasional Bruto (PNB)
mereka, dengan penyesuaian untuk utang luar negeri dan rendahnya pendapatan per
kapita.[51]
Majelis telah membentuk prinsip
bahwa PBB tidak boleh terlalu bergantung pada salah satu anggota untuk
membiayai operasinya. Dengan demikian, ada sebuah tingkat
"langit-langit", pengaturan jumlah maksimum sumbangan setiap anggota
yang dinilai untuk anggaran rutin. Pada bulan Desember 2000, Majelis merevisi
skala penilaian untuk mencerminkan keadaan global saat ini. Sebagai bagian dari
revisi itu, plafon anggaran rutin berkurang dari 25% menjadi 22%. AS adalah
satu-satunya anggota yang telah memenuhi langit-langit. Selain tingkat
langit-langit, jumlah minimum yang dinilai untuk setiap negara anggota (atau
tingkat 'lantai') ditetapkan sebesar 0,001% dari anggaran PBB. Selain itu,
untuk negara-negara kurang berkembang (LDC), tingkat langit-langit 0,01%
diterapkan.[52]
Anggaran operasional saat ini
diperkirakan sebesar $ 4.190.000.000 untuk periode dua tahunan dari tahun 2008
sampai 2009, atau sedikit lebih dari 2 miliar dolar per tahun (lihat tabel
untuk kontributor utama). [53]
Sebagian besar dari pengeluaran
PBB adalah untuk misi inti PBB, yaitu perdamaian dan keamanan. Anggaran
pemeliharaan perdamaian untuk tahun fiskal 2010-2011 adalah sekitar $ 7 miliar,
dengan sekitar 90.000 tentara dikerahkan di 14 misi di seluruh dunia.[54]
Operasi perdamaian PBB didanai oleh penilaian, menggunakan formula yang berasal
dari dana biasa, tetapi termasuk biaya tambahan tertimbang untuk lima anggota
tetap Dewan Keamanan, yang harus menyetujui semua operasi penjaga perdamaian.
Biaya tambahan ini berfungsi untuk mengimbangi tarif penjaga perdamaian yang
dikurangi dari negara-negara kurang berkembang. Per 1 Januari 2008, 10 besar
penyedia kontribusi keuangan yang dinilai pada operasi penjaga perdamaian PBB
adalah: Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Tiongkok, Kanada,
Spanyol, dan Republik Korea
Program PBB khusus yang tidak
termasuk dalam anggaran rutin (seperti UNICEF, WFP dan UNDP) didanai oleh
sumbangan sukarela dari pemerintah negara anggota lainnya. Sebagian besar
sumbangan ini adalah kontribusi keuangan, tetapi beberapa adalah dalam bentuk
komoditas pertanian yang disumbangkan untuk membantu populasi yang membutuhkan.
Karena anggaran mereka bersifat sukarela, banyak dari lembaga-lembaga ini
menderita kekurangan dana selama resesi ekonomi. Pada bulan Juli 2009, Program
Pangan Dunia melaporkan bahwa ia telah dipaksa untuk memotong jasa karena dana
tidak mencukupi.[55]. PPD telah menerima hampir seperempat dari total yang
dibutuhkan untuk tahun keuangan 09/10.
Kebijakan Personil[sunting |
sunting sumber]
PBB dan lembaga-lembaganya kebal
terhadap hukum negara tempat mereka beroperasi, untuk menjaga ketidakberpihakan
PBB sehubungan dengan negara tuan rumah dan anggota.[56]
Meskipun mereka relatif
independen dalam hal kebijakan sumber daya manusia, PBB dan lembaga-lembaganya
secara sukarela menerapkan hukum-hukum negara-negara anggota mengenai
pernikahan sesama jenis, sehingga keputusan tentang status karyawan dalam
sebuah kemitraan yang sama-seks didasarkan pada kebangsaan karyawan-karyawan
tersebut. PBB dan agensi-agensinya mengakui pernikahan sesama jenis hanya jika
karyawan itu adalah warga negara dari negara-negara yang mengakui perkawinan
sesama jenis. Praktek ini tidak secara khusus membahas pengakuan perkawinan
sesama jenis tetapi mencerminkan praktik umum PBB untuk sejumlah masalah sumber
daya manusia. Perlu dicatat juga bahwa beberapa lembaga memberikan manfaat
terbatas pada mitra domestik staf mereka dan beberapa lembaga tidak mengakui
perkawinan sesama jenis atau kemitraan domestik staf mereka.
Reformasi[sunting | sunting
sumber]
Sejak didirikan, ada banyak
seruan untuk mereformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, meskipun hampir tidak ada
yang setuju bagaimana untuk melakukannya. Beberapa ingin PBB untuk memainkan
peran yang lebih besar atau lebih efektif dalam urusan dunia, sementara yang
lain ingin perannya dikurangi untuk pekerjaan kemanusiaan [57]. Ada juga
sejumlah usulan sudah penambahan keanggotaan Dewan Keamanan PBB, cara yang lain
untuk pemilihan Sekretaris Jenderal PBB dan untuk pembentukan Majelis
Parlementer PBB.
PBB juga telah dituduh atas
pembuangan sumber daya dan birokrasi yang tidak efisien. Selama tahun 1990-an,
Amerika Serikat menunda pembayaran iuran dengan alasan inefisiensi, dan hanya
mulai pembayaran dengan kondisi bahwa akan diadakan suatu inisiatif reformasi.
Pada tahun 1994, Kantor Pengawasan Internal Jasa (OIOS) didirikan oleh Majelis
Umum sebagai pengawas efisiensi.[58]
Sebuah program reformasi resmi
dimulai oleh Kofi Annan pada tahun 1997. Reformasi tersebut termasuk mengubah
keanggotaan tetap Dewan Keamanan (yang saat ini mencerminkan hubungan kekuasaan
pada 1945), membuat birokrasi lebih transparan, akuntabel dan efisien, membuat
PBB lebih demokratis, dan mulai merencanakan Pakta Perdagangan Senjata.[59]
Pada bulan September 2005, PBB
mengadakan KTT Dunia yang dihadiri oleh sebagian besar kepala negara anggota,
menyebut pertemuan iu sebagai "kesempatan sekali dalam segenerasi untuk
mengambil keputusan berani dalam bidang pembangunan, keamanan, hak asasi
manusia dan reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. "[60].
Kofi Annan telah mengusulkan
bahwa peserta pertemuan menyetujui " perundingan besar-besaran (grand
bargain)" global untuk reformasi PBB, memperbaharui fokus organisasi
tentang perdamaian, keamanan, hak asasi manusia dan pembangunan, dan untuk
membuatnya lebih siap dalam menghadapi masalah-masalah di abad ke-21. Dokumen
Hasil KTT Dunia menggambarkan kesimpulan dari pertemuan tersebut, termasuk:
pembuatan sebuah Komisi Pembangunan Perdamaian, untuk membantu negara-negara
berkembang dari konflik; sebuah Dewan Hak Asasi Manusia dan dana demokrasi;
sebuah penghukuman yang jelas dan tidak ambigu tentang terorisme "dalam
segala bentuk dan manifestasi"; perjanjian untuk mencurahkan lebih banyak
sumber daya ke
Kantor Layanan Pengawasan
Internal; perjanjian untuk menghabiskan miliaran lebih dalam mencapai Tujuan
Pembangunan Milenium; pembubaran Dewan Perwalian, karena misinya sudah
terselesaikan; dan, perjanjian bahwa masing-masing negara , dengan bantuan dari
masyarakat internasional, memiliki "tanggung jawab untuk melindungi"
populasi dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan
terhadap kemanusiaan-dengan pemahaman bahwa masyarakat internasional siap untuk
bertindak "kolektif" dan "dengan tepat waktu dan tegas" untuk
melindungi warga sipil yang rentan jika suatu negara "secara nyata
gagal" dalam memenuhi tanggung jawabnya.[61]
Kantor Layanan Pengawasan
Internal sedang direstrukturisasi untuk memperjelas ruang lingkup dan
mandatnya, dan akan menerima lebih banyak sumber daya. Selain itu, untuk
meningkatkan kemampuan pengawasan dan audit dari Majelis Umum, Audit Independen
Komite Penasehat (IAAC) sedang dibuat. Pada bulan Juni 2007, Komite Kelima
menciptakan sebuah rancangan resolusi untuk kerangka acuan komite ini.[62][63].
Sebuah kantor etika didirikan
pada tahun 2006, dan bertanggung jawab untuk melaksanakan pengungkapan keuangan
baru dan kebijakan perlindungan whistleblower. Bekerja sama dengan OIOS, kantor
etika juga merencanakan untuk menerapkan kebijakan untuk menghindari penipuan
dan korupsi[64]. Sekretariat sedang dalam proses meninjau semua mandat PBB yang
berusia lebih dari lima tahun. Peninjauan ini ditujukan untuk menentukan
program mana yang merupakan duplikat atau tidak perlu yang harus dihilangkan. Tidak
semua negara anggota menyetujui mandat mana di antara lebih dari 7000 mandat
yang harus ditinjau ulang.
Sengketa ini berpusat pada apakah
mandat yang telah diperbaharui harus diperiksa[65] Memang, hambatan yang
diidentifikasi - pada khususnya, kurangnya informasi tentang implikasi sumber
daya mandat masing-masing - merupakan pembenaran yang cukup untuk Majelis Umum
untuk menghentikan peninjauan mandat pada bulan September 2008.
Sementara itu, Majelis Umum
meluncurkan sejumlah inisiatif baru yang secara longgar terkait dengan
reformasi pada bulan April 2007, meliputi tata kelola lingkungan internasional,
'Ditayangkan sebagai Satu' pada tingkat negara untuk meningkatkan konsolidasi
kegiatan program PBB dan organisasi gender yang bersatu. Sedangkan pencapaian 2
isu pertama itu kecil, Majelis Umum pada September 2010 menyetujui pembentukan
"UN Women" atau Wanita PBB/PBB Wanita sebagai organisasi PBB yang
baru untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. ‘UN Women didirikan
dengan mempersatukan sumber daya dan mandat dari empat kesatuan kecil untuk
dampak yang lebih besar. Kepala pertama Wanita PBB adalah Michelle Bachelet,
mantan Presiden Chile[66].
Efektivitas[sunting | sunting
sumber]
Beberapa telah mempertanyakan
apakah PBB masih relevan di abad ke-21.[67]. Sementara mandat pertama dan kedua
Piagam PBB membutuhkan PBB:. "Untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional .... (Dan jika perlu untuk menegakkan perdamaian dengan)
mengambil tindakan pencegahan atau penegakan hukum. "[68], karena struktur
restriktif administrasi, anggota tetap Dewan Keamanan sendiri kadang-kadang
mencegah PBB dari sepenuhnya melaksanakan dua mandat pertama.[69]. Tanpa
persetujuan bulat, dukungan (atau minimal abstain) dari semua 5 dari anggota
tetap Dewan Keamanan PBB, Piagam PBB hanya memungkinkan untuk
"mengamati", laporan, dan membuat rekomendasi mengenai konflik
internasional. Kebulatan tersebut di Dewan Keamanan tentang otorisasi aksi
penegakan hukum PBB bersenjata tidak selalu tercapai pada waktunya untuk
mencegah pecahnya perang internasional. Bahkan dengan semua hambatan dan
keterbatasan pada kemampuan PBB untuk menanggapi situasi konflik, berbagai
studi masih telah menemukan PBB telah memiliki banyak keberhasilan penting
dalam 65 tahun keberadaannya.
Pada tahun 1962 Sekjen PBB U
Thant memberikan bantuan yang berharga dan mengambil banyak waktu, tenaga dan
inisiatif sebagai negosiator utama antara Nikita Khrushchev dan John F. Kennedy
selama Krisis Rudal Kuba, sehingga memberikan hubungan penting dalam pencegahan
suatu perang nuklir pada waktu itu [70]. Sebuah penilitan tahun 2005 oleh RAND
Corporation menemukan PBB berhasil dalam dua dari tiga upaya perdamaian. Studi
ini juga membandingkan upaya PBB untuk pembangunan bangsa dengan orang-orang
dari Amerika Serikat, dan menemukan bahwa tujuh dari delapan kasus PBB damai,
bertentangan dengan empat dari delapan kasus AS damai [71] Juga pada tahun
2005, Human Security Report mendokumentasikan penurunan jumlah perang, genosida
dan pelanggaran HAM sejak akhir Perang Dingin, dan bukti, meskipun tidak
langsung, bahwa aktivisme internasional - kebanyakan dipelopori oleh PBB -
telah menjadi penyebab utama penurunan konflik bersenjata sejak akhir Perang
Dingin.[72]
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ASEAN adalah pertemuan puncak antara pemimpin-pemimpin negara anggota ASEAN
dalam hubungannya terhadap pengembangan ekonomi dan budaya antar negara-negara
Asia Tenggara.[2]
Sejak dibentuknya ASEAN telah
berlangsung 14 kali KTT resmi, 4 KTT tidak resmi, dan 1 KTT Luar Biasa.
Daftar isi [sembunyikan]
1 Lokasi Pertemuan
2 Hasil dari KTT Resmi ASEAN
3 Hasil dari KTT Tidak Resmi
ASEAN
4 Referensi
5 Pranala luar
Lokasi Pertemuan[sunting |
sunting sumber]
KTT ASEAN diselenggarakan oleh 10
negara Asia Tenggara setiap tahunnya.
KTT Asean di Hanoi, Vietnam pada
28-30 Oktober 2010
Pertemuan Tahunan Anggota ASEAN.
Tanggal Negara Tuan rumah
1 23‒24
Februari 1976 Indonesia Bali
2 4‒5
Agustus 1977 Malaysia Kuala Lumpur
3 14‒15
Desember 1987 Filipina Manila
4 27‒29
Januari 1992 Singapura Singapura
5 14‒15
Desember 1995 Thailand Bangkok
6 15‒16
Desember 1998 Vietnam Hanoi
7 5‒6
November 2001 Brunei Bandar Seri Begawan
8 4‒5
November 2002 Kamboja Phnom Penh
9 7‒8
Oktober 2003 Indonesia Bali
10 29‒30
November 2004 Laos Vientiane
11 12‒14
Desember 2005 Malaysia Kuala Lumpur
12 11‒14
Januari 20071,2 Filipina Cebu
13 18‒22
November 2007 Singapura Singapura
14 27
Februari-1 Maret 2009[3]3 Thailand Cha Am, Hua Hin
15 23
Oktober 2009 Thailand Cha Am, Hua Hin
16 8-9
April 2010 Vietnam Hanoi
17 28-30
Oktober 2010 Vietnam Hanoi
18 4-8
Mei 2011 Indonesia Jakarta
19 17-19
November 2011 Indonesia Bali
20 3-4
April 2012 Kamboja Phnom Penh
21 17-20
November 2012 Kamboja Phnom Penh
22 9
Oktober 2013 Brunei Bandar Seri Begawan
1 Ditunda dari tanggal sebelumnya
10‒14 Desember 2006 akibat Badai Seniang
2 Menjadi tuan rumah setelah
Myanmar mundur karena ditekan AS dan UE
3 Ditunda dari tanggal sebelumnya
12‒17 Desember 2008 akibat krisis politik Thailand 2008. Pertemuan pada Maret
kemudian dibatalkan akibat aksi unjuk rasa di lokasi pertemuan.
Konferensi Tingkat Tinggi Tak
Resmi ASEAN
Tanggal Negara Tuan rumah
1 30
November 1996 Indonesia Jakarta
2 14‒16
Desember 1997 Malaysia Kuala Lumpur
3 27‒28
November 1999 Filipina Manila
4 22‒25
November 2000 Singapura Singapura
Konferensi Tingkat Tinggi Luar
Biasa ASEAN
Tanggal Negara Tuan rumah
1 6
Januari 2005 Indonesia Jakarta
Hasil dari KTT Resmi
ASEAN[sunting | sunting sumber]
KTT ke-1
Deklarasi Kerukunan ASEAN;
Perjanjian Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara (TAC); serta
Persetujuan Pembentukan Sekretariat ASEAN.
KTT ke-2
Pencetusan Bali Concord 1.
KTT ke-3
Mengesahkan kembali
prinsip-prinsip dasar ASEAN.
Solidaritas kerjasama ASEAN dalam
segala bidang.
Melibatkan masyarakat di
negara-negara anggota ASEAN dengan memperbesar peranan swasta dalam kerjasama
ASEAN.
Usaha bersama dalam menjaga
keamanan stabilitas dan pertumbuhan kawasan ASEAN.
KTT ke-4
ASEAN dibentuk Dewan ASEAN Free
Trade Area (AFTA) untuk mengawasi, melaksanakan koordinasi.
Memberikan penilaian terhadap
pelaksanaan Skema Tarif Preferensi Efektif Bersama (Common Effective
Preferential Tariff/CEPT) menuju Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN.
KTT ke-5
Membicarakan upaya memasukan
Kamboja, Laos, Vietnam menjadi anggota serta memperkuat identitas ASEAN.
KTT ke-6
Pemimpin ASEAN menetapkan
Statement of Bold Measures yang juga berisikan komitmen mereka terhadap AFTA
dan kesepakatan untuk mempercepat pemberlakuan AFTA dari tahun 2003 menjadi
tahun 2002 bagi enam negara penandatangan skema CEPT, yaitu Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand.
KTT ke-7
Mengeluarkan deklarasi HIV/AIDS.
Mengeluarkan deklarasi Terorisme,
karena menyangkut serangan terorisme pada gedung WTC di Amerika.
KTT ke-8
Pengeluaran deklarasi Terorisme,
bagaimana cara-cara pencegahan.
Pengesahan ASEAN Tourism
Agreement.
KTT ke-9
Pencetusan Bali Concord II yang
akan dideklarasikan itu berisi tiga konsep komunitas ASEAN yang terdiri dari
tiga pilar, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC)
dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASSC).
KTT ke-10
Program Aksi Vientiane (Vientiane
Action Program) yang diluluskan dalam konferensi tersebut menekankan perlunya
mempersempit kesenjangan perkembangan antara 10 negara anggota ASEAN,
memperluas hubungan kerja sama dengan para mitra untuk membangun sebuah
masyarakat ASEAN yang terbuka terhadap dunia luar dan penuh vitalitas pada
tahun 2020.
KTT ke-11
Perjanjian perdagangan jasa demi
kerja sama ekonomi yang komprehensif dengan Korea Selatan, memorandum of
understanding (MoU) pendirian ASEAN-Korea Center, dan dokumen hasil KTT Asia
Timur yang diberi label Deklarasi Singapura atas Perubahan Iklim, Energi, dan
Lingkungan Hidup.
KTT ke-12
Membahas masalah-masalah mengenai
keamanan kawasan, perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), keamanan
energi Asia Tenggara, pencegahan dan pengendalian penyakit AIDS serta masalah
nuklir Semenanjung Korea.
KTT ke-13
Penandatanganan beberapa
kesepakatan, antara lain seperti perjanjian perdagangan dalam kerangka
kerjasama ekonomi dan penandatangan kerjasama ASEAN dengan Korea Center,
menyepakati ASEAN Center.
KTT ke-14
Penandatanganan persetujuan
pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru
Hasil dari KTT Tidak Resmi ASEAN[sunting
| sunting sumber]
KTT Tidak Resmi ke-1
Kesepakatan untuk menerima
Kamboja, Laos, dan Myanmar sebagai anggota penuh ASEAN secara bersamaan.
KTT Tidak Resmi ke-2
Sepakat untuk mencanangkan Visi
ASEAN 2020 yang mencakup seluruh aspek yang ingin dicapai bangsa-bangsa Asia
Tengara dalam memasuki abad 21, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial
budaya.
KTT Tidak Resmi ke-3
Kesepakatan untuk mengembangkan
kerja sama di bidang pembangunan ekonomi, sosial, politik dan keamanan serta
melanjutkan reformasi struktural guna meningkatkan kerja sama untuk pertumbuhan
ekonomi di kawasan.
KTT Tidak Resmi ke-4
Sepakat untuk pembangunan proyek
jalur kereta api yang menghubungkan Singapura hingga Cina bahkan Eropa guna
meningkatkan arus wisatawan.
KTT Luar Biasa (Jakarta 6 Januari
2005)
Pembahasan bagaimana
penanggulangan dan solusi menghadapi Gempa atau Tsunami.
PNI atau Partai Nasional
Indonesia adalah partai politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan pada
4 Juli 1927 [1] dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan ketuanya
pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq
Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo.[2]
Daftar isi [sembunyikan]
1 Partai Nasional Indonesia
2 Tokoh-tokoh dan mantan
tokoh-tokoh
3 Partai-Partai Penerus
4 Pranala luar
5 Referensi
Partai Nasional Indonesia[sunting
| sunting sumber]
Propaganda PNI pada tahun 1920-an
1927 - Didirikan di Bandung oleh
para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq
Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu para pelajar yang tergabung dalam
Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung
dengan partai ini.
1928 - Berganti nama dari
Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia
1929 - PNI dianggap membahayakan
Belanda karena menyebarkan ajaran-ajaran pergerakan kemerdekaan sehingga
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah penangkapan pada tanggal 24
Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929
terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno, Gatot Mangkupraja,
Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja
1930 - Pengadilan para tokoh yang
ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Setelah diadili di
pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan dalam penjara Sukamiskin,
Bandung.[3] Dalam masa pengadilan ini Ir. Soekarno menulis pidato
"Indonesia Menggugat" dan membacakannya di depan pengadilan sebagai
gugatannya.
1931 - Pimpinan PNI, Ir. Soekarno
diganti oleh Mr. Sartono. Mr. Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk
Partindo pada tanggal 25 April 1931.[3] Moh. Hatta yang tidak setuju
pembentukan Partindo akhirnya membentuk PNI Baru. Ir. Soekarno bergabung dengan
Partindo.
1933 - Ir. Soekarno ditangkap dan
dibuang ke Ende, Flores sampai dengan 1942.
1934 - Moh. Hatta dan Syahrir
dibuang ke Bandaneira sampai dengan 1942.
1955 - PNI memenangkan Pemilihan
Umum 1955.
1973 - PNI bergabung dengan empat
partai peserta pemilu 1971 lainnya membentuk Partai Demokrasi Indonesia.
1998 - Dipimpin oleh Supeni,
mantan Duta besar keliling Indonesia, PNI didirikan kembali.
1999 - PNI menjadi peserta pemilu
1999.
2002 - PNI berubah nama menjadi
PNI Marhaenisme dan diketuai oleh Rachmawati Soekarnoputeri, anak dari
Soekarno.
Tokoh-tokoh dan mantan
tokoh-tokoh[sunting | sunting sumber]
Foto para pendiri PNI yang
merupakan arsip dari gedung Museum Sumpah Pemuda.
Dr. Tjipto Mangunkusumo
Mr. Sartono
Mr Iskaq Tjokrohadisuryo
Mr Sunaryo
Ir. Soekarno
Moh. Hatta
Gatot Mangkoepradja
Soepriadinata
Maskun Sumadiredja
Amir Sjarifuddin
Wilopo
Hardi
Suwiryo
Ali Sastroamidjojo
Djuanda Kartawidjaja
Mohammad Isnaeni
Supeni
Sanusi Hardjadinata
Sarmidi Mangunsarkoro
Partai-Partai Penerus[sunting |
sunting sumber]
Partindo
PNI Baru
PNI Marhaenisme
PNI Supeni
PNI Massa Marhaen
PNI Partai
Nasional Indonesia
Borok-borok ORBA memang harus
tetap ditulis sehingga NKRI tidak menjadi
keledai yang bisa terjatuh 2x
dilobang yang sama, salah satunya adalah
Drakula BPPC yang telah membunuh
tidak saja batang CENGKEH tapi juga banyak
PETANI cengkeh yang Allahyarham karena
ulah aktor DRAKULA-DRAKULA BPPC.
Suatu hari setelah penumpang
istirhat makan di PATEK, tentu bagi yang pernah
menelusuri pantai barat di
pesisir barat Aceh tentu masih teringat rumah
makan dipinggir pantai barat
Aceh. Bus yang saya tumpangi meleawti Calang
maka terlihat batng-batang
cengkeh tidak terurus lagi, sama seperti di Lhok
Nga dekat pabrik semen Andalas di
Aceh Besar. Salah seorang penumpang bus
yang juga karyawan BPPC beliau
mulai bercerita tentang Drakula BPPC yang
telah menghisap DARAH Petani
Cengkeh Indonesia. Pada saat itu harga cengkeh
berkisar 9 ~ 10 ribu per kg. Tapi
oleh BPPC harga tersebut diturunkan
menjadi 6ribu per kg. Setelah itu
dikelurakan lagi PP pabrik rokok tidak
boleh membeli cengkeh langsung
pada rakyat tapi harus membeli cengkeh
melalui BPPC kalau tidak tidak
didapat cukai/ bandrol rokok.
BPPC Benar-Benar DRAKULA
Setelah BPPC menurunkan harga
cengkeh dari 9000/kg menjadi 6000/kg, maka
sebagai Drakula BPPC benar-benar
menghisap darah petani cengkeh caranya
yaitu:
1. Petani Cengkeh harus menjual cengkeh ke BPPC
dengan harga 6000/kg,
padahal harga sebelumnya 9000/kg
2. Setiap kg cengkeh yang dibeli BPPC hanya
dibayar ke Petani 2000/kg,
selanjutnya yang 4000 algi adalah
sbb
3. 2000 lagi akan dibayar bebearpa bulan
kemudian, kalau BPPC telah
menerima bayaran dari pabrik
rokok
4. 2000 lagi tidak dibayarkan ke Petani,
tapi dijadikan SWPC dan akan
dikembalikan setelah hari kiamat
Melihat 4 bullet diatas, maka
benar-benar BPPC telah berubah menjadi Drakula
bagi petani cengkeh, harga
cengkeh yang biasanya 9000/kg tiba-tiba dengan
adanya BPPC petani hanya menerima
2000/kg, masya Allah, apakah aktor-aktor
BPPC masih bisa hidup dengan
damai di Bumi Allah ini. Setelah berhasil
dengan BPPC yang telah mengambil
korban banyak petani cengkeh, pada saat itu
muncul ide untuk melanjutkan
dengan Tata Niaga Jeruk di Kalimantan dan Tata
Niaga Minuman di Bali. Semoga
saja praktek-praktek Drakula tersebut tidak
lagi ber-embrio di NKRI, makanya
dosa-dosa ORBA harus diinformasikan pada
generasi penerus agar NKRI tidak
dipimpin oleh mereka-mereka yang OTAK nya
penuh dengan perbuatan-perbuatan
yang dilaknatullah.