Senin, 07 Mei 2012


Abu Bakar bin Abi Qahafah (As siddiq),
jika aku berbuat salah maka kalian wajib meluruskan dan mengingatkan. . Beliau lahir dua tahun beberapa bulan setelah kelahiran Rasulullah Saw di kota Mekkah. Atau pada tahun 51 sebelum Hijriah (751 M). Nama lengkapanya Abdullah bin Utsman bin ‘Amir bin Ka’ab at-Taimy al-Qursy. Dulunya bernama Abdul Ka’bah, kemudian Rasulullah mengantinya dengan nama Abdullah. Gelarnya As-Sidiq; orang percaya. Ketika terjadi peristiwa Isro’ dan Mi’roj, beliaulah termasuk orang pertama yang percaya dengan peristiwa itu. Maka beliau digelari as-Siddiq. Nama panggilanya Abu Bakar. Ibunya bernama ummul Khoir Salma binti Shahr bin ‘Amir . . Di kalangan kaumnya dikenal dengan al-‘Atiq. Konon ceritanya Rasulullah pernah berkata; “Kamu adalah hamba Allah yang dijauhkan (‘Atiq) dari api neraka”. Maka sejak itulah terkenal di kalangan sahabat dengan sebutan al-‘Atiq. Pendapat lain mengatakan karena wajahnya yang ganteng. Pendapat lain karena banyak memerdekakan budak muslim seperti Bilal. Pendapat lain karena tidak ada cacat dalam nasabnya. . Mengenai pribadinya, Ibn Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin az-Zubair, “Ketika para sahabat sedang kumpul dalam suatu majlis, seseorang bertanya kepada Abu Bakar. “Apakah kamu pernah minum khomer pada masa Jahiliyah?” kata orang itu. Beliau menjawab, “Aku berlingung kepada Allah. “Kenapa” orang itu bertanya. “Saya dapat menjaga kehormatan diriku dan muruah. Sebab orang yang minum khomer hilang kehormatannya dan muruahnya” jawab Abu Bakar. Orang pun melaporkan kepada Rasulullah. Rasulullah berkata, “Abu Bakar benar. Abu Bakar benar.” Dari Aisyah ‘Aisyah r.a. berkata, “Demi Allah, Abu Bakar r.a. belum pernah membaca syair pada masa Jahiliyah dan Islam. Beliau dan Utsman bin ‘Affan tidak pernah meminum khomer/arak.” Pada waktu Rasulullah wafat, kaum muslimin mulai guncang dan kebinggungan akan keberlangsungan Islam. Melihat kondisi yang sangat membahayakan ini, beliau dengan lantang berkata; “ Siapa diantara kalian yang menyembah Muhammad (Rasulullah), maka Muhammad sudah wafat. Tapi barangsiapa menyembah Allah SWT maka Allah SWT itu hidup dan tidak akan mati.” Mendengar ucapan itu, maka tenanglah hati umat Islam. Hingga akhirnya Allah SWT menguatkan keimanan mereka. Selepas Rasululllah wafat, beliau diangkat menjadi kholifah oleh kaum muslimin pada tahun 11 H. inilah sejarah pergantian kempimpinan umat Islam untuk pertama kali yang didasarkan pada syuro’ (musyawarah). Pada waktu dipilih menjadi kholifah beliau berkata; “Aku diangkat menjadi pemimpin kalian tapi bukan berarti aku yang paling baik dari kalian. Sekiranya aku melakukan kebaikan maka kalian harus menolongnya dan sekiranya aku berbuat salah maka kalian wajib meluruskan dan mengingatkan. Kejujuran adalah amanah dan berdusta adalah khianat dan pengingkaran terhadap yang benar. Orang-orang yang lemah diantara kalian, bagiku adalah orang kuat hingga aku memberikan haknya. Dan orang-orang yang kuat diantara kalian, bagiku adalah lemah hingga aku ambil hak-hak itu darinya.” Istri-istri beliau; Ummu Rumman binti ‘Amir, Qutailah binti Abdul Izza, Asma’ binti ‘Umais dan Habibah binti Khorijah. Lahir dari perkawinnya tiga anak laki-laki dan tiga perempuan. Tiga anak laki-laki itu; Abdullah, Abdurrahman dan Muhammad. 3 anak perempuannya; Asma’, Aisyah (istri Rasulullah) dan Ummu Kultsum. Beliau menjabat sebagai kholifah selama dua tahun dan tiga bulan. Wafat pada tahun 12 H berumur 63 tahun, seperti umur Rasulullah ketika wafat. Dikuburkan di dekat kuburan Rasulullah di kamar Aisyah RA. Sebelum wafatnya, beliau pernah berwasiat kepada Umar bin Khottob untuk menjadi kholifah. Beliau sangat pandai dalam ilmu nasab (silsisah keturunan) suku dan juga penceritaannya. Beliau termasuk dari ketua-ketua Quraisy di masa Jahiliyah yang disegani dan senangi karena sikapnya yang bijak. Selama hidupnya belum pernah minum khomer dan menyembah patung. Ketika di Yaman, seorang syeik dari al-Azd pernah memberitahu tentang hadirnya kenabian Muhammad Saw. Beliau orang pertama yang meyakini dan mempercayai kenabian Muhammad. Seperti halnya berita yang disampaikan Waroqoh bin Naufal kepada beliau mengenai kenabian Muhammad Saw. Pada waktu hijrah, beliau menjadi teman Rasulullah dalam perjalanan hijrah itu, begitu juga ketika Rasulullah berada di gua Hira. Hal ini bisa dibaca dalam firman Allah; “…sedang ia salah seorang dari dua sahabat pada waktu di gua Hiro..(QS.at-taubah:40). Ketika melakukan ibadah haji beliau orang pertama menjadi amir (ketua) rombongan kaum muslimin dalam haji tersebut dan orang pertama yang menjadi imam sholat setelah wafatnya Rasulullah. Diantara orang-orang yang memeluk Islam atas jasanya adalah; az-Zubair bin al-Awwa, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Saad bin Abu Waqos, Tholhah bin Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah. Mereka termasuk 10 orang-orang yang diberitakan masuk surga. Termasuk beliau juga. Beliau telah memerdekakan 7 orang; Bilal, ‘Amir bin Fahiroh, Zanirah, Nahdiyah dan anak perempuannya, Jariyah bani Muammal dan Ummu ‘Abis. Mengumpulkan mushaf yang tersebar di pelbagai pelosok. Beliau juga orang yang sangat tegas memerangi orang-orang murtad (keluar dari Islam) dan engan membayar zakat. Pada masa beliau memangku kholifah, syiar Islam tersebar melalui penaklukan ke pelbagai negara. Inilah sejarah awal penaklukan dalam Islam. Ada 142 hadits yang diriwayatkankan. Diantara riwayat hadits dari beliau; Suatu ketika Abu Bakar bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, ajarkan kepadaku do’a dalam sholat.” Rasulullah menjawab: “berdoalah dengan ini; “Allahumma inni dholamtu nafsi dhulman katsiro…(Wahai Allah, aku banyak berbuat kedhaliman, tidak ada orang yang boleh berikan ampunan dosa-dosa dholimku kecuali Engkau. Maka berilah ampunana atas semua dosa-dosaku dan berilah kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha Pemberi Ampunan dan Kasih sayang” (HR.Bukhori) Apa kata Rasulullah mengenai pribadinya: “Tidak seorangpun diantara manusia yang lebih banyak dari Abu Bakar dalam menjaga diriku denganm jiwa dan hartanya. Sekiranya dibolehkan aku menjadikan teman baik diantara manusia niscaya saya jadikan Abu Bakar sebagai teman baik. Akan tetapi pertemanan dan persaudaraan atas nama Islam itu lebih utama. Silahkan kalian tutup setiap pintu untukku di masjid kecuali pintu Abu Bakar (HR.Bukhori). Dalam hadits lain disebutkan,suatu ketika Rasulullah bertanya kepada para sahabat; “ Siapa diantara kalian yang hari ini berpuasa.” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul. “Siapa diantara kalian yang telah memberi makan orang miskin?” Abu Bakar menjawab; “Saya, Wahai Rasul.” “Siapa diantara kalian telah mendoakan dan menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab; “Saya, wahai baginda Rasul.” Setelah itu Rasulullah bersabda; “Sekiranya sifat dan perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang maka kelak dia akan masuk surga.” Wasiat Abu Bakar kepada Umar sebelum ajal menjemputnya sebagaimana diceritakan Abdurrahman bin Abdullah bin Sabith “Pada waktu ajal hendak menjemputnya, beliau memangil Umar. Beliau berkata, “Wahai Umar, ingatlah bahwa ada amalan untuk Allah yang dilakukan siang hari yang Allah tidak akan menerima amalan itu di waktu malam. Dan ada amalan untuk Allah yang di malam hari yang tidak akan diterima di waktu siang. Allah tidak menerima amalan sunnah sehingga yang wajib dilaksanakan. Timbangan amal baik di akherat menjadi berat karena mengikuti jalan kebenaran di dunia hingga Allah beratkan timbangan atas mereka. Dan timbangan (baik) manusia berkurang di akherat karena manusia mengikuti jalan sesat/batil selama di dunia Ketika beliau wafat, Ali bin Tholib berkata; “Semoga Allah memberikan rahmat kepada Abu Bakar, Kamu adalah saudara Rasulullah, kawan dekat, penghibur duka lara, dan kawan dalam bermusyawarah. Kamu adalah orang pertama yang berislam, yang paling ikhlas beriman kepada Allah dan Rasulul-Nya, yang paling baik dalam persahabatan dan paling mulia diantara kaum lainnya. Kamu juga yang paling serupa dengan Rasulullah ketika diam dan gerak. Allah telah angkat derajat namamu, wahai Abu bakar dalam tingkatan yang paling tinggi. Allah berfirman; “ Dan orang yang percaya dengan kenabian Muhammad. Dalam riwayat Asakir dari al-Ashma’y disebutkan bahwa Abu Bakar jika dipuji beliau berdo’a “Ya Allah Engkau lebih tahu tentang diriku dan saya lebih tahu dari mereka. Ya Allah berikan kebaikan padaku dari apa yang mereka sangkakan. Ampunilah aku dari apa yang mereka tidak tahu dan jangan azab aku dari apa yang mereka katakan.” Menurut beberapa riwayat beliau berumur 63 tahun ketika beliau wafat. Kurang lebih 2 tahun, tiga bulan dan beberapa hari beliau menjabat sebagai kholifah pertama dalam sejarah Islam.


Umar Ibnul Khattab,
Keteladanan Keluarga Umar Ibnul Khattab ra. Suatu saat Khalifah Umar ra mengutus Jutsamah ibn Musahiq Al-Kinani ra untuk menyampaikan surat kepada Kaisar Rumawi Helaclius, ketika Jutsamah akan berangkat, Ummu Kultsum binti Ali ibn Abi Thalib ra istri Khalifah Umar ra bersama adiknya Al-Husain ibn Ali ra menitipkan surat kepada permaisuri kaisar yang bernama Martina, selain surat Ummu Kulsum juga menitipkan sebuah gelas kaca berisi minyak wangi sebagai hadiah untuk permaisuri.

Jutsaimah berangkat ke kota Konstantiniyah, setelah sampai disana ia menemui kaisar heraclius dan menyerahkan surat Khalifah Umar juga menyerahkan surat dan gelas kaca berisi minyak wangi dari istri Khalifah kepada permaisuri,sesuai permintaan istri Khalifah, Jutsamah menerjemahkan suratnya kepada permaisuri yang isinya sbb :
Dari Ummu Kulsum, istri Amirul Mu`minin Umar
Kepada Martina, permasuri kaisar Rumawi Heraclius
Salam sejahtera untuk-mu..
Aku mengajak anda untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat saudariku, masuklah anda kedalam islam, jika anda masuk Islam, suamimu akan mengikutimu lalu rakyatmu juga akan memeluk Islam karena itu anda akan mendapatkan ganjaran pahala ribuan orang yang mendapatkan hidayah..

Mendengar isi surat itu, permaisuri merasa kagum. Ia berkata :” Aku terima hadiah berupa gelas berisi minyak wangi ini, tapi aku menolak ajakan masuk Islam, aku tetap berpegang pada agamaku”. lalu Martina menitipkan kalung permata yg sangat mahal sebagai hadiah bagi Ummu Kultsum.

Jutsamah pulang ke Madinah, ia menyerahkan kalung permata itu kepada Al-Husain untuk diberikan kepada kakaknya Ummu Kultsum, betapa senangnya Ummu Kultsum dengan hadiah sang permaisuri kaisar tsb. Namun kemudian Khalifah Umar melihat kalung permata itu dan bertanya dari mana ia memperolehnya. Ummu Kultsum-pun menjelaskan asal usul kalung tersebut.
Mendengar penjelasan dari istrinya, Khalifah Umar ra berkata : “kalung itu adalah hak kaum muslimin, karena itu kalung tersebut harus diserahkan kepada baitul maal”
Ucapan Khalifah Umar ra membuat Ummu Kultsum marah, ia berkata :” aku tidak mau bicara lagi denganmu selamanya”
Khalifah pergi ke masjid menyuruh muazzin untuk memanggil kaum muslimin, setelah mereka berkumpul Khalifah naik ke mimbar dan menceritakan ihwal kalung yg diterima istrinya kepada kaum muslimin, setelah itu Khalifah berkata :” kalung itu harus dikembalikan kepada baitul maal, Ummu Kultsum tidak berhak mengambilnya, ia memperolehnya karena ia istri Amirul Mu`minin”

Kaum muslimin yg hadir mengatakan :” kami ridha kalung itu untuk Ummu Kultsum, biarlah kalung itu menjadi miliknya Ya Amiral Mu`minin ”

Khalifah pulang ke rumahnya, ia bertanya kepada istrinya :”apakah engkau masih marah padaku?, aku telah bermusyawarah kepada`kaum muslimin di masjid tentang kalung ini, mereka sepakat dan ridha kalung itu menjadi milikmu, akan tetapi jika engkau memyerahkannya ke baitul maal, itu jauh lebih baik”
Cerita tentang kalung itu sampai juga kepada Imam Ali ibn Abi Thalib ra ayah dari Ummu Kultsum. Sepulang dari sebuah perjalanan Imam Ali meminnta izin untuk bertemu dengan Khalifah Umar ra, Khalifah menyambutnya seraya berkata :” ahlan ya Abal Hasan, silakan masuk..”
Imam Ali memberi salam kepada putrinya, Ummu Kultsum-pun mencium tangan ayahnya. Imam Ali berkata :” mana kalung itu, wahai putri-ku?” lalu Ummu Kultsum menunjukkannya sambil berkata :” ini ayah..”

Imam Ali berkata :” wahai, putriku, kalung ini tidak pantas dipakai oleh keluarga Rasulullah saw dan juga keluarga Khalifah Umar, kalung ini hanya pantas dikenakan oleh keluarga kaisar atau kisra, engkau tidak seperti wanita-wanita lain, engkau adalah putri Fatimah Azzahra`cucu Rasulullah saw, engkau adalah anakku, istri Khalifah Umar, pemimpin kaum muslimin, lebih baik bagimu bila orang-orang berkata :” suaminya telah menzaliminya demi kepentingan kaum muslimin dari pada mereka berkata :” suaminya menzalimi kaum muslimin demi kepentingan istrinya”, silakan pertimbangkan apa yang engkau akan pilih, apakah engkau akan memilih Allah dan kenikmatan akhirat atau memilih kalung ini, wahai putriku ?”

Ummu Kultsum menjawab :” tentu aku akan memilih Allah dan kenikmatan akhirat, silakan ambil kalung ini ayah dan serahkan ke baitul maal”…. SubhanalLaah
Imam Ali berkata :” semoga Allah memberkahimu wahai anakku…”
menyaksikan kejadian ini Khalifah Umar ra berkata dengan suara keras :” Sungguh keturunan yang baik berasal dari keluarga yang baik juga…”

Utsman bin Affan,

Dalam kitab Al-Thabaqat, Taj al-Subki menceritakan bahwa ada seorang laki-laki bertamu kepada 'Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. 'Utsman berkata kepada laki-laki itu, "Aku melihat ada bekas zina di matamu." Laki-laki itu bertanya, "Apakah wahyu masih diturunkan sctelah Rasulullah Saw wafat?" `Utsman menjawab, "Tidak, ini adalah firasat seorang mukmin." `Utsman r.a. mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak mengulangi apa yang telah dilakukannya.

Selanjutnya Taj al-Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda. Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya, seperti 'Utsman r.a. Ketika ada seorang laki-laki datang kepadanya, `Utsman dapat melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena menghayalkan seorang perempuan.

Artinya, setiap maksiat itu kotor, dan menimbulkan noda hitam di hati sesuai kadar kemaksiatannya sehingga membuatnya kotor, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, "Sekali-kali tidak demikian, sesungguhnya apa yang mereka kerjakan itu mengotori hati mereka (QS Al-Muthaffifin [83]: 14).

Semakin lama, kemaksiatan yang dilakukan membuat hati semakin kotor dan ternoda, sehingga membuat hati menjadi gelap dan menutup pintu-pintu cahaya, lalu hati menjadi mati, dan tidak ada jalan lagi untuk bertobat, seperti dinyatakan dalam firman Nya, Dan hati mereka telah dikunci mati, sehingga mereka tidak mengetahui kebahagiaan beriman dan berjihad. (QS Al Taubah [9]: 87)

Sekecil apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu. Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya. Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang tajam seperti 'Utsman bin `Affan, sehingga ia bisa mengetahui kotoran hati meskipun kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan, `Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini adalah maqam paling tinggi di antara maqam-maqam lainnya. Apabila dosa kecil ditambah dosa kecil lainnya, maka akan bertambah pula kekotoran hatinya, dan apabila dosa itu semakin banyak maka akan membuat hatinya gelap. Orang yang memiliki mata hati akan mampu melihat hal ini. Apabila kita bertemu dengan orang yang penuh dosa sampai gelap hatinya, tetapi kita tidak mampu mengetahui hal tersebut, berarti dalam hati kita masih ada penghalang yang membuat kita tidak mampu melihat hal tersebut, karena orang yang mata hatinya jernih dan tajam pasti akan mampu melihat dosa-dosa orang tersebut.
Kisah 2
Ibnu `Umar r.a. menceritakan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati 'Utsman r.a. yang sedang berada di atas mimbar. Jahjah merebut tongkat 'Utsman, lalu mematahkannya. Belum lewat setahun, Allah menimpakan penyakit yang menggerogoti tangan Jahjah, hingga merenggut kematiannya. (Riwayat Al-Barudi dan Ibnu Sakan)

Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Jahjah al-Ghifari mendekati `Utsman yang sedang berkhutbah, merebut tongkat dari tangan `Utsman, dan meletakkan di atas lututnya, lalu mematahkannya. Orang-orang menjerit. Allah lalu menimpakan penyakit pada lutut Jahjah dan tidak sampai setahun ia meninggal. (Riwayat Ibnu Sakan dari Falih bin Sulaiman yang saya kemukakan dalam kitab Hujjatullah `ala al-Alamin)

Kisah 3
Diceritakan bahwa Abdullah bin Salam mendatangi `Utsman r.a. yang sedang dikurung dalam tahanan untuk mengucapkan salam kepadanya. 'Utsman bercerita, "Selamat datang saudaraku. Aku melihat Rasulullah Saw dalam ventilasi kecil ini. Rasulullah bertanya, "Utsman, apakah mereka mengurungmu?' Aku menjawab, `Ya.' Lalu beliau memberikan seember air kepadaku dan aku meminumnya sampai puas. Rasulullah berkata lagi, `Kalau kau mau bebas.niscaya engkau akan bebas, dan kalau kau mau makan bersama kami mari ikut kami.' Kemudian aku memilih makan bersama mereka." Pada hari itu juga, `Utsman terbunuh.
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi, kisah ini adalah kisah masyhur yang diriwayatkan dalam kitab-kitab hadis dengan beberapa sanad berbeda, termasuk jalur sanad Harits bin Abi Usamah. Menurut Ibnu Bathis, apa yang dialami 'Utsman adalah mimpi pada saat terjaga sehingga bisa dianggap karamah. Karena semua orang bisa bermimpi ketika tidur, maka mimpi ketika tidur tidak termasuk kejadian luar biasa yang bisa dianggap sebagai karamah. Hal ini disepakati oleh orang yang mengingkari karamah para wali. (Dikutip dalam Tabaqat al-Munawi dari kitab Itsbat al-Karamah karya Ibnu Bathis)


Ali Bin Abu Thalib.

Ali Bin Abu Thalib tumbuh menjadi anak yang cepat matang. Di wajahnya tampak jelas kematangannya, yang juga menunjukkan kekuatan, dan ketegasan. Saat ia menginjak usia pemuda, ia segera berperan penuh dalam dakwah Islam, tidak seperti yang dilakukan oleh pemuda seusianya. Contoh yang paling jelas adalah keikhlasannya untuk menjadi tameng Rasulullah Saw saat beliau hijrah, dengan menempati tempat tidur beliau. Ia juga terlibat dalam peperangan yang hebat, seperti dalam perang Al Ahzab, dia pula yang telah menembus benteng Khaibar. Sehingga dia dijuluki sebagai pahlawan Islam yang pertama.

Ali bin Abu Thalib adalah seorang dengan perawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol. Pundaknya lebar. Kedua lengannya berotot, seakan sedang mengendarai singa. Lehernya berisi. Bulu jenggotnya lebat. Kepalanya botak, dan berambut di pinggir kepala. Matanya besar. Wajahnya tampan. Kulitnya amat gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja. Berisi. Jika berjalan seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw. Seperti dideskripsikan dalam kitab Usudul Ghaabah fi Ma'rifat ash Shahabah: adalah Ali bin Abi Thalib bermata besar, berkulit hitam, berotot kokoh, berbadan besar, berjenggot lebat, bertubuh pendek, amat fasih dalam berbicara, berani, pantang mundur, dermawan, pemaaf, lembut dalam berbicara, dan halus perasaannya.

Jika ia dipanggil untuk berduel dengan musuh di medan perang, ia segera maju tanpa gentar, mengambil perlengkapan perangnya, dan menghunuskan pedangnya. Untuk kemudian menjatuhkan musuhnya dalam beberapa langkah. Karena sesekor singa, ketika ia maju untuk menerkam mangsanya, ia bergerak dengan cepat bagai kilat, dan menyergap dengan tangkas, untuk kemudian membuat mangsa tak berkutik.

Tadi adalah sifat-sifat fisiknya. Sedangkan sifat-sifat kejiwaannya, maka ia adalah sosok yang sempurna, penuh dengan kemuliaan.

Keberaniannya menjadi perlambang para kesatria pada masanya. Setiap kali ia menghadapi musuh di medan perang, maka dapat dipastikan ia akan mengalahkannya.

Seorang yang takwa tak terkira, tidak mau masuk dalam perkara yang syubhat, dan tidak pernah melalaikan syari'at.
Seorang yang zuhud, dan memilih hidup dalam kesederhanaan. Ia makan cukup dengan berlauk-kan cuka, minyak dan roti kering yang ia patahkan dengan lututnya. Dan memakai pakaian yang kasar, sekadar untuk menutupi tubuh di saat panas, dan menahan dingin di kala hawa dingin menghempas.

Penuh hikmah, adalah sifatnya yang jelas. Dia akan berhati-hati meskipun dalam sesuatu yang ia lihat benar, dan memilih untuk tidak mengatakan dengan terus terang, jika hal itu akan membawa mudharat bagi umat. Ia meletakkan perkara pada tempatnya yang tepat. Berusaha berjalan seirama dengan rekan-rekan pembawa panji dakwah, seperti keserasian butiran-butiran air di lautan.

Ia bersikap lembut, sehingga banyak orang yang sezaman dengannya melihat ia sedang bergurau, padahal hal itu adalah suatu bagian dari sifat kesempurnaan yang melihat apa yang ada di balik sesuatu, dan memandang kepada kesempurnaan. Ia menginginkan agar realitas yang tidak sempurna berubah menjadi lurus dan meningkat ke arah kesempurnaan. Gurauan adalah 'anak' dari kritik. Dan ia adalah 'anak' dari filsafat. Menurutku, gurauan yang tepat adalah suatu tanda ketinggian intelektualitas para tokoh pemikir dalam sejarah.

Ia terkenal kefasihannya. Sehingga ucapan-ucapannya mengandung nilai-nilai sastra Arab yang jernih dan tinggi. Baik dalam menciptakan peribahasa maupun hikmah. Ia juga mengutip dari redaksi Al Quran, dan hadits Rasulullah Saw, sehingga menambah benderang dan semerbak kata-katanya. Yang membuat dirinya berada di puncak kefasihan bahasa dan sastra Arab.

Ia amat loyal terhadap pendidiknya, Nabi-nya, juga Rabb-nya. Serta berbuat baik kepada kerabatnya. Amat mementingkan isterinya yang pertama, Fathimah az Zahra. Dan ia selalu berusaha memberikan apa yang baik dan indah kepada orang yang ia senangi, kerabatnya atau kenalannya.

Ali Bin Abu Thalib berpendirian teguh, sehingga menjadi tokoh yang namanya terpatri dalam sejarah. Tidak mundur dalam membela prinsip dan sikap. Sehingga banyak orang yang menuduhnya bodoh dalam politik, tipu daya bangsa Arab, dan dalam hal melembutkan sikap musuh, sehingga kesulitan menjadi berkurang. Namun, sebenarnya kemampuannya jauh di atas praduga yang tidak benar, karena ia tahu apa yang ia inginkan, dan menginginkan apa yang ia tahu. Sehingga, di samping kemanusiaannya, ia seakan-akan adalah sebuah gunung yang kokoh, yang mencengkeram bumi.


Thalhah bin Ubaidillah.

Thalhah bin Ubaidillah, Syahid ketika masih Hidup
Thalhah bin Ubaidillah bin Utsman bin Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Ibunya bernama Ash-Sha'bah binti Al Hadrami, saudara perempuan Al Ala'. Wanita ini telah menyatakan dirinya sebagai seorang muslimah. Beliau seorang pemuda Quraisy yang memilih profesi sebagai saudagar. Meski masih muda, Thalhah punya kelebihan dalam strategi berdagang, ia cerdik dan pintar, hingga dapat mengalahkan pedagang-pedagang lain yang lebih tua. Pada suatu ketika Thalhah bin Ubaidillah dan rombongan pergi ke Syam. Di Bushra, Thalhah bin Ubaidillah mengalami peristiwa menarik yang mengubah garis hidupnya.

Tiba-tiba seorang pendeta berteriak-teriak,"Wahai para pedagang, adakah di antara tuan-tuan yang berasal dari kota Makkah?." "Ya, aku penduduk Makkah," sahut Thalhah. "Sudah munculkah orang di antara kalian orang bernama Ahmad?" tanyanya. "Ahmad yang mana?" "Ahmad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Bulan ini pasti muncul sebagai Nabi penutup para Nabi. Kelak ia akan hijrah dari negerimu ke negeri berbatu-batu hitam yang banyak pohon kurmanya. Ia akan pindah ke negeri yang subur makmur, memancarkan air dan garam. Sebaiknya engkau segera menemuinya wahai anak muda," sambung pendeta itu.
Ucapan pendeta itu begitu membekas di hati Thalhah bin Ubaidillah, hingga tanpa menghiraukan kafilah dagang di pasar ia langsung pulang ke Makkah. Setibanya di Makkah, ia langsung bertanya kepada keluarganya,"Ada peristiwa apa sepeninggalku?" "Ada Muhammad bin Abdullah mengatakan dirinya Nabi dan Abu Bakar As Siddiq telah mempercayai dan mengikuti apa yang dikatakannya," jawab mereka.

"Aku kenal Abu Bakar. Dia seorang yang lapang dada, penyayang dan lemah lembut. Dia pedagang yang berbudi tinggi dan teguh. Kami berteman baik, banyak orang menyukai majelisnya, karena dia ahli sejarah Quraisy," gumam Thalhah bin Ubaidillah lirih.

Setelah itu Thalhah bin Ubaidillah langsung mencari Abu Bakar As Siddiq. "Benarkah Muhammad bin Abdullah telah menjadi Nabi dan engkau mengikutinya?" "Betul." Abu Bakar As Siddiq menceritakan kisah Muhammad sejak peristiwa di gua Hira' sampai turunnya ayat pertama. Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk masuk Islam. Usai Abu Bakar As Siddiq bercerita Thalhah bin Ubaidillah ganti bercerita tentang pertemuannya dengan pendeta Bushra. Abu Bakar As Siddiq tercengang. Lalu Abu Bakar As Siddiq mengajak Thalhah bin Ubaidillah untuk menemui Muhammad dan menceritakan peristiwa yang dialaminya dengan pendeta Bushra. Di hadapan Rasulullah, Thalhah bin Ubaidillah langsung mengucapkan dua kalimat syahadat.

Bagi keluarganya, masuk Islamnya Thalhah bin Ubaidillah bagaikan petir di siang bolong. Keluarganya dan orang-orang satu sukunya berusaha mengeluarkannya dari Islam. Mulanya dengan bujuk rayu, namun karena pendirian Thalhah bin Ubaidillah sangat kokoh, mereka akhirnya bertindak kasar. Siksaan demi siksaan mulai mendera tubuh anak muda yang santun itu. Sekelompok pemuda menggiringnya dengan tangan terbelenggu di lehernya, orang-orang berlari sambil mendorong, memecut dan memukuli kepalanya, dan ada seorang wanita tua yang terus berteriak mencaci maki Thalhah bin Ubaidillah, yaitu ibunya, Ash-Sha'bah. Tak hanya itu, pernah seorang lelaki Quraisy, Naufal bin Khuwailid yang menyeret Abu Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah mengikat keduanya menjadi satu dan mendorong ke algojo hingga darah mengalir dari tubuh sahabat yang mulia ini. Peristiwa ini mengakibatkan Abu Bakar As Siddiq dan Thalhah bin Ubaidillah digelari Al-Qarinain atau sepasang sahabat yang mulia. Tidak hanya sampai disini saja cobaan dan ujian yang dihadapi Thalhah bin Ubaidillah, semua itu tidak membuatnya surut, melainkan makin besar bakti dan perjuangannya dalam menegakkan Islam, hingga banyak gelar dan sebutan yang didapatnya antara lain Assyahidul Hayy, atau syahid yang hidup.
[Syahid ketika masih hidup] Syahid ketika masih hidup

Julukan ini diperolehnya dalam perang Uhud. Saat itu barisan kaum Muslimin terpecah belah dan kocar-kacir dari sisi Rasulullah. Yang tersisa di dekat beliau hanya 11 orang Anshar dan Thalhah bin Ubaidillah dari Muhajirin. Rasulullah dan orang-orang yang mengawal beliau naik ke bukit tadi dihadang oleh kaum Musyrikin.

"Siapa berani melawan mereka, dia akan menjadi temanku kelak di surga," seru Rasulullah. "Aku Wahai Rasulullah," kata Thalhah bin Ubaidillah. "Tidak, jangan engkau, kau harus berada di tempatmu."

"Aku wahai Rasulullah," kata seorang prajurit Anshar. "Ya, majulah," kata Rasulullah. Lalu prajurit Anshar itu maju melawan prajurit-prajurit kafir. Pertempuran yang tak seimbang mengantarkannya menemui kesyahidan.

Rasulullah kembali meminta para sahabat untuk melawan orang-orang kafir dan selalu saja Thalhah bin Ubaidillah mengajukan diri pertama kali. Tapi, senantiasa ditahan oleh Rasulullah dan diperintahkan untuk tetap ditempat sampai 11 prajurit Anshar gugur menemui syahid dan tinggal Thalhah bin Ubaidillah sendirian bersama Rasulullah.

Saat itu Rasulullah berkata kepada Thalhah bin Ubaidillah,"Sekarang engkau, wahai Thalhah." Dan majulah Thalhah bin Ubaidillah dengan semangat jihad yang berkobar-kobar menerjang ke arah musuh dan menghalau agar jangan menghampiri Rasulullah. Lalu Thalhah berusaha menaikkan Rasulullah sendiri ke bukit, kemudian kembali menyerang hingga tak sedikit orang kafir yang tewas.

Saat itu Abu Bakar As Siddiq dan Abu Ubaidah bin Jarrah yang berada agak jauh dari Rasulullah telah sampai di dekat Rasulullah. "Tinggalkan aku, bantulah Thalhah, kawan kalian," seru Rasulullah. Keduanya bergegas mencari Thalhah bin Ubaidillah, ketika ditemukan, Ia dalam keadaan pingsan, sedangkan badannya berlumuran darah segar. Tak kurang 79 luka bekas tebasan pedang, tusukan lembing dan lemparan panah memenuhi tubuhnya. Pergelangan tangannya putus sebelah.

Dikiranya Thalhah sudah gugur, ternyata masih hidup. Karena itulah gelar syahid yang hidup diberikan Rasulullah. "Siapa yang ingin melihat orang berjalan di muka bumi setelah mengalami kematiannya, maka lihatlah Thalhah," sabda Rasulullah.

Sejak saat itu bila orang membicarakan perang Uhud di hadapan Abu Bakar As Siddiq, maka beliau selalu menyahut, "Perang hari itu adalah peperangan Thalhah seluruhnya hingga akhir hayatnya."

Pribadi yang Pemurah dan Dermawan

Kemurahan dan kedermawanan Thalhah bin Ubaidillah patut kita contoh dan kita teladani. Dalam hidupnya ia mempunyai tujuan utama yaitu bermurah dalam pengorbanan jiwa. Thalhah bin Ubaidillah merupakan salah seorang dari sepuluh orang yang pertama masuk Islam, dimana pada saat itu satu orang bernilai seribu orang.

Sejak awal keislamannya sampai akhir hidupnya dia tidak pernah mengingkari janji. Janjinya selalu tepat. Ia juga dikenal sebagai orang jujur, tidak pernah menipu apalagi berkhianat. Pernahkah anda melihat sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah ? Begitulah Thalhah bin Ubaidillah. Ia adalah seorang dari kaum muslimin yang kaya raya, tapi pemurah dan dermawan. Istrinya bernama Su'da binti Auf. Pada suatu hari istrinya melihat Thalhah bin Ubaidillah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang istri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, " Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?" Maka istrinya berkata, "Uang yang ada ditanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir-miskin." Maka dibagi-bagikannyalah seluruh uang yang ada ditangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun.

Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah bin Ubaidillah, katanya, "Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya."

Jaabir bin Abdullah bertutur, "Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta." Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki "Thalhah si dermawan", "Thalhah si pengalir harta", "Thalhah kebaikan dan kebajikan".

Wafatnya Thalhah bin Ubaidillah

Sewaktu terjadi pertempuran "Aljamal", Thalhah (di pihak lain) bertemu dengan Ali bin Abu Thalib dan memperingatkan agar ia mundur ke barisan paling belakang. Sebuah panah beracun mengenai betisnya, maka dia segera dipindahkan ke Basra dan tak berapa lama kemudian karena lukanya ia wafat. Thalhah bin Ubaidillah wafat pada usia enam puluh tahun dan dikubur di suatu tempat dekat padang rumput di Basra.
Dia wafat dalam usia lebih kurang 60 tahun. Dia telah dikaruniai 14 orang putera dan puteri, yaitu:

1. Muhammad As Sajja
2. Imran
3. Isa
4. Ismail
5. Ishak
6. yaakub
7. Musa
8. Zkaria
9. Yusuf
10. Yahya
11. Aisyah (Istri Mush'ab bin Zubair bin Awwam)
12. Ummu Ishak (Istri Hasan bin Ali
13. Sha'bah
14. Marya

Sesungguhnya Thalhah bin Ubaidillah berharap bisa gugur ketika berjuang bersama Rasulullah saw saat menghadapi musuh Islam. Namun, ketentuan Ilahi menghendaki dia tewas di tangan orang Islam sendiri.

Rasulullah pernah berkata kepada para sahabat Ra, "Orang ini termasuk yang gugur dan barang siapa senang melihat seorang syahid berjalan diatas bumi maka lihatlah Thalhah bin Ubaidillah. Hal itu juga dikatakan ALLAH dalam firmanNya : "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang -orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada ALLAH, maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya." (Al-Ahzaab: 23).


Azzubair ibnul Awwam.

Zubair Ibnul Awwam (Seorang bernilai 1000 orang)
Antara Thalhah dan Azzubair adalah dua serangkai. Bila yang seorang disebut maka yang kedua pun disebut. Mereka sama-sama beriman pada tahun yang sama dan wafat dalam tahun yang sama pula. Kedua-duanya tergolong kesepuluh orang yang "mubasyarin bil jannah".

Awal Masuk Islam
Azzubair masuk Islam dalam usia lima belas tahun dan ia hijrah dalam usia delapan belas tahun sesudah menderita penganiayaan dan siksaan bertubi-tubi karena mempertahankan keimanannya. Pamannya sendirilah yang menyiksanya. Azzubair digulung ke dalam tikar, lalu kakinya digantung diatas dan dibawah kepalanya ditaruh api yang membara. Pamannya berkata, "Kembali kamu kepada penyembahan berhala !" Tapi Azzubair menjawab, "Saya tidak akan kembali kafir lagi sama sekali."

Peperangan pertama antara Syirik dan Iman
Azzubair adalah prajurit dakwah yang menyandang senjata untuk melawan orang-orang yang menghendaki gugurnya dakwah Islamiah selagi dalam kandungan. Kepahlawanannya telah tampak pertama kali pada waktu perang Badar. Dalam peperangan itu, pasukan Quraisy menempatkan pendekarnya dibarisan terdepan yang dipimpin oleh Ubaidah bin Said Ibnul Aash. Dia dikenal sebagi seorang yang paling berani, paling pandai dalam menunggang kuda dan paling kejam terhadap lawan. Kaum Quraisy sengaja menempatkannya di barisan terdepan untuk menantang pahlawan-pahlawan berkuda kaum muslimin. Azzubair segera memandang kearah Ubaidah. Ternyata seluruh tubuhnya berbalut senjata (baju besi) sehingga sulit ditembus dengan senjata. Yang tampak dari Ubaidah hanya kedua matanya saja. Azzubair berpikir bagaimana caranya mengalahkan musuhnya yang berbaju besi itu dan ia menemukan cara yang jitu. Setelah siap, Azzubair terjun kemedan tempur dan terjadilah perang tanding yang seru sekali. Dalam dua kali putaran Azzubair mengarahkan lembingnya kemata Ubaidah dan berhasil menusuk kedua mata itu sampai kebelakang kepalanya. Ubaidah, pendekar Quraisy itu berteriak dan jatuh tersungkur tanpa gerak. Menyaksikan terbunuhnya Ubaidah yang tragis ini, barisan kaum musyrikin ketakutan. Lembing milik Azzubair kemudian diminta oleh Rasulullah SAW. Lembing itu kemudian berada ditangan Abubakar, Umar, Utsman, Ali dan Abdullah ibnu Azzubair meminta lembing itu untuk disimpannya. Terbunuhnya pendekar Quraisy Ubaidah menambah semangat juang Umat Islam dalam setiap peperangan dan mereka selalu dapat memenangkannya.

Rasulullah SAW sangat mencintai Azzubair
Rasulullah SAW merasa bangga terhadap Azzubair, dan ia bersabda : "Setiap nabi mempunyai pengikut pendamping yang setia(Hawari) dan hawariku adalah Azzubair ibnul Awwam." Kecintaan Rasulullah SAW kepada Azzubair bukan hanya disebabkan ia anak bibi Rasulullah SAW tetapi karena Azzubair memang seorang pemuda yang setia, ikhlas, jujur, kuat, berani,murah tangan dan telah menjual diri dan hartanya kepada ALLAH. Dia adalah seorang pengelola perdagangan yang berhasil dan hartawan, tapi hartanya selalu diinfakan untuk perjuangan Islam.

Yang pertama Menyambut Panggilan Jihad
Bila diserukan "Hayo berjihad fi Sabilillah", maka ia akan segera menjadi orang pertama yang datang menyambut seruan itu. Oleh karena itulah Azzubair selalu mengikuti seluruh peperangan bersama Rasulullah SAW. Selama hidupnya ia tidak pernah absen berjihad. Ketika kaum muslimin mengepung perbentengan bani Quraidah yang kokoh dan sulit dikuasai, Azzubair bersama Ali bin Abi Thalib menyerbu dengan memanjat benteng itu sehingga kaum muslimin dapat memasuki dan menguasai benteng tersebut. Begitu pula kesigapan Azzubair dalam menyambut seruan jihad pada perang Alahzaab dan peperangan lainnya sehingga bila Rasulullah SAW melihatnya, Beliau tersenyum ridho dan gembira, seraya bersabda : :Tiap nabi mempunyai kawan dan pembela setia(Hawari) dan di antara hawariku adalah Azzubair.". Azzubair tercatat dalam rombongan yang pernah hijrah ke negeri Habasyah sebelum hijrah ke Madinah.

Seorang Bernilai Seribu Orang
Ketika Amru Ibnul Aash meminta bala bantuan tentara kepada Amirul Mukminin, Umar Ibnul Khattab untuk memperkuat pasukan memasuki negeri Mesir dan mengalahkan tentara Romawi yang kala itu menduduki Mesir, Umar Ra mengirim empat ribu prajurit yang dipimpin oleh empat orang komandan dan ia juga menulis surat yang isinya : Aku mengirim empat ribu prajurit bala bantuan yang dipimpin empat orang sahabat yang terkemuka dan masing-masing bernilai seribu orang. Tahukah anda siapa empat orang komandan itu ?, mereka adalah Azzubair Ibnul Awwam, Ubadah Ibnu Assamit, Almiqdaad Ibnul Aswad dan Maslamah bin Mukhallid." Ketika menghadapi benteng Babilion, kaum muslimin sukar membuka dan menguasainya. Azzubair Ra memanjati dinding benteng dengan tangga. Lalu ia berseru " Allahu Akbar" dan disambut dengan kalimat tahuid oleh pasukan yang berada diluar benteng. hal ini membuat pasukan musuh gentar, panik dan meninggalkan pos-pos pertahanan mereka sehingga Azzubair dan kawan-kawannya bergegas membuka pintu gerbang maka tercapailah kemenangan yang gilang gemilang pada kaum muslimin.

Wafatnya Azzubair Ra
Ketika terjadi pertempuran hari "Aljamal" antara pasukan yand dipimpin Siti Aisyah Ra dengan pasukan Ali Ra, Azzubair bertemu dengan Ali dan menyatakan dirinya tidak lagi memihak dan akan berusaha mendamaikan kedua pasukan itu. Setelah itu maka diapun pergi. Tetapi dia dibuntuti oelh beberapa orang yang menginginkan berlanjutnya fitnah dan perang. Azzubair ditikam ketika sedang menghadap Allah (dalam keadaan menunaikan shalat).


Abdurrahman bin Auf,

ABDURRAHMAN BIN AUF
PEMIMPIN PANDAI MENGENDALIKAN HARTA

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai buktinya, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkannya dan tidak juga dengan menyimpannya bahkan ia mengumpulkannya secara santai dan dari jalan yang halal. Kemudian ia tidak menikmati sendirian, tetapi ikut menikmatinya bersama keluarga dan kaum kerabatnya serta saudara-saudaranya dan masyarakat seluruhnya. Dan karena begitu luas pemberian serta pertolongannya, pernah dikatakan orang:

"Seluruh penduduk Madinah berserikat dengan Abdurrahman bin Auf, pada hartanya. Sepertiga dipinjamkannya pada mereka. Sepertiga lagi digunakannya untuk membayar hutang-hutang mereka, dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi bagikannya kepada mereka". Harta kekayaan ini tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya, selama tidak memungkinkannya untuk membela agama dan membantu kawan-kawannya. Adapun untuk lainnya, ia selalu takut dan ragu. Pada suatu hari dihidangkannya kepadanya makanan untuk berbuka, karena waktu itu ia sedang shaum, sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya, tetapi iapun menangis sambil mengeluh.



Mushab bin Umair telah gugur sebagai Syahid, ia jauh lebih baik dari padaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah, jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya dan jika ditutupkan kakinya terbuka kepalanya. Demikian juga Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku, iapun gugur sebagai syahid, dan disaat akan dikuburkan hanya terdapat untuknya sehelai selendang. Telah dihamparkan untuk kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan juga kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir kalau-kalau telah didahulukan pahala kebaikan kami.



Pada suatu peristiwa lain sebagian sahabatnya berkumpul bersamanya menghadapi jamuan dirumahnya. Tak lama sesudah makanan diletakkan dihadapan mereka, iapun menangis. Karena itu mereka bertanya: " Rasulullah SAW telah wafat dan tak pernah beliau berikut ahli rumahnya sampai kenyang makan roti gandum, apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan untuk kita ?". Begitulah ia, kekayaannya yang melimpah-limpah sedikitpun tidak membangkitkan kesombongan dan takabur dalam dirinya. Sampai-sampai dikatakan orang tentang dirinya :



"Seandainya seorang asing yang belum pernah mengenalinya, kebetulan melihatnya sedang duduk-duduk bersama pelayan-pelayannya, niscaya ia tidak akan sanggup membedakannya dari antara mereka !"



Tetapi bila orang asing itu mengenal satu segi saja dari perjuangan Ibnu Auf dan jasa jasanya, misalnya diketahuinya bahwa dibadannya terdapat 20 bekas luka diperang Uhud, dan bahwa salah satu dari bekas luka ini meninggalkan cacat pincang yang tidak sembuh-sembuh pada salah satu kakinya. Sebagaimana juga beberapa gigi seri rontok di perang Uhud, yang menyebabkan kecadelan yang jelas pada ucapan dan pembicaraannya. Diwaktu itulah, orang baru akan menyadari bahwa laki-laki yang berperawakan tinggi dengan air muka yang berseri dan kulit halus, pincang serta cadel sebagai tanda jasa dari perang Uhud, itulah orang yang bernama Abdurrahman bin Auf Semoga Allah ridho kepadanya dan ia pun ridho kepada Allah.



Sudah menjadi kebiasaan pada tabiat manusia bahwa harta kekayaan mengundang kekuasaan, artinya bahwa orang-orang kaya selalu gandrung untuk memiliki pengaruh guna melindungi kekayaan mereka dan tidak melipat gandakannya, dan untuk memuaskan nafsu, sombong, membanggakan dan mementingkan diri sendiri, yakni sifat-sifat yang biasa dibangkitkan oleh kekayaan. Tetapi bila kita melihat Abdurrahman bin Auf dengan kekayaannya yang melimpah ini, kita akan menemukan manusia ajaib yang sanggup menguasai tabiat kemanusiaan dalam bidang ini dan melangkahinya kepuncak ketinggian yang unik. Peristiwa ini terjadi sewaktu Umar bin Khattab hendak berpisah dengan ruhnya yang suci dan ia memilih 6 orang tokoh dari para sahabat rasulullah Saw sebagai formatur agar mereka memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah yang baru.

Jari jari tangan sama-sama menunjuk dan mengisyaratkan ibnu auf Bahkan sebagian sahabat telah menegaskan bahwa dialah orang yang lebih berhak dengan khalifah diantara yang 6 itu, maka ujarnya: " Demi Allah, daripada aku menerima jabatan tersebut, lebih baik ambil pisau lain taruh ke atas leherku, kemudian kalian tusukkan sampai tembus ke sebelah.

Demikianlah, baru saja kelompok 6 formatur itu mengadakan pertemuan untuk memilih salah seorang diantara mereka untuk menjadi khalifah yang akan menggantikan al-Faruk, Umar bin Khattab maka kepada kawan-kawannya yang 5 dinyatakannya bahwa ia telah melepaskan haknya yang dilimpahkan Umar kepadanya sebagai salah seorang dari 6 orang calon yang akan dipilih menjadi khalifah. Dan adalah kewajiban mereka untuk melakukan pemilihan itu terbatas diantara mereka yang berlima saja. Sikap zuhudnya terhadap jabatan pangkat ini dengan cepat telah menempatkan dirinya sebagai hakim diantara 5 orang tokoh terkemuka itu, mereka menerima dengan senang hati agar Abdurrahman bin Auf menetapkan pilihan khalifah itu terhadap salah seorang dari mereka yang berlima sementara Imam Ali mengatakan:

"Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa anda adalah orang yang dipercaya oleh penduduk langit, dan dipercaya juga oleh penduduk bumi". Oleh Ibnu Auf dipilihlah Utsman bin Affan untuk jabatan khalifah dan yang lainpun menyetujui pilihannya. Nah, inilah hakikat seorang laki-laki yang kaya raya dalam Islami ! apakah sudah anda perhatikan bagaimana Islam telah mengangkat dirinya jauh diatas kekayaan dengan segala godaan dan penyesatannya itu, dan bagaimana ia menempa kepribadiannya dengan sebaik-baiknya?

Dan pada tahun ke 32 H, tubuhnya berpisah dengan ruhnya. Ummul Mu'minin Aisyah ingin memberinya kemuliaan khusus yang tidak diberikannya kepada orang lain, maka diusulkannya kepadanya sewaktu ia masih berbaring diranjang menuju kematian, agar ia bersedia dikuburkan di perkarangan rumahnya berdekatan dengan Rasulullah, Abu bakar dan Ummar. Akan tetapi ia memang seorang muslim yang telah dididik Islam dengan sebaik-baiknya, ia merasa malu diangkat dirinya pada kedudukan tersebut.

Dahulu ia juga telah membuat janji dan ikrar yang kuat dengan Utsman bin Madhun, yakni bila salah seorang di antara mereka meninggal dunia sesudah yang lain maka hendaklah ia dikuburkan di dekat sahabatnya itu. Selagi ruhnya besiap-siap memulai perjalanannya yang baru air matanya, meleleh sedang lidahnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata: "Sesungguhnya aku khawatir dipisahkan dari sahabat-sahabatku karena kekayaanku yang melimpah ruah.

Tetapi sakinah dari Allah segera menyelimutinya, lain satu senyuman tipis menghiasi wajahnya disebabkan suka cita yang memberikan cahaya serta kebahagiaan yang menentramkan jiwa.Ia memasang telinganya untuk menangkap sesuatu, seolah olah ada suara yang lembut, merdu yang datang mendekat. la sedang mengenangkannya kebenaran. Sabda rasulullah SAW yang pernah beliau ucapkan: "Abdurrahman bin Auf dalam surga", lagipula ia sedang mengingat ingat janji Allah dalam kitabnya:

"Orang-orang yang membelanjakan hartanya dijalan Allah kemudian mereka tidak mengiringi apa yang telah mereka nafkahkan itu dengan membangkit-bangkit pemberiannya dan tidak juga kata-kata yang menyakitkan, niscaya mereka akan memperoleh pahala disisi Tuhan mereka, mereka tidak perlu merasa takut dan tidak pula merasa duka cita" .( Q.S.2 al - Baqarah: 262).

Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemimpin yang mengendalikan hartanya, bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Maksudnya adalah bahwa Abdurahman bin Auf bukanlah seorang pemimpin yang terlalu mementingkan harta benda namun ia mementingkan amalan di jalan Allah. Harta yang ada pada dirinya dianggapnya hanyalah sebagai titipan di dunia yang hanya bersifat sementara saja. Karena ia juga beranggapan bahwa harta kekayaan itu tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada diri seseorang. Oleh karenanya ia sering menggunakan harta tersebut di jalan Allah untuk membantu masyarakat dan sahabat-sahabatnya.

Sudah menjadi kebiasaan pada tabiat manusia bahwa harta kekayaan tidak terlepaskan dari kekuasaan. Artinya bahwa harta kekayaan mempunyai pengaruh yang gunanya untuk melindungi kekayaan dan melipatgandakannya. Dan biasanya harta kekayaan menjadikan seseorang sombong, mementingkan diri sendiri dan sifat- sifat buruk lainnya. Namun Abdurrahman Bin Auf tidak mempunyai sifat-sifat buruk tersebut. Kekayaannya yang melimpah ruah tidak sedikitpun menjadikannya seseorang yang sombong dan takabur.Ia tidak pernah membeda-bedakan seseorang baik itu dari status, fisik, ataupun lain sebagainya.

Dari sejarah diatas kita dapat memetik pembelajaran bahwa kekayaan itu bukanlah segala-galanya. Dan kita tidak boleh terlalu mendewa-dewakan harta benda karena kekayaan itu hanya berlaku semu belaku dimana sifatnya sementara saja dan tidak menjamin kita dapat masuk ke surga. Oleh karenanya harta yang kita punya hendaklah kita gunakan di jalan Allah, dan tidak menjadi sombong.



Sa'ad bin Abi Waqqash RA.

Lelaki penghuni surga di antara dua pilihan, iman dan kasih sayang. Malam telah larut, ketika seorang pemuda bernama Sa’ad bin Abi Waqqash terbangun dari tidurnya. Baru saja ia bermimpi yang sangat mencemaskan. Ia merasa terbenam dalam kegelapan, kerongkongannya terasa sesak, nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran, keadaan sekelilingnya gelap-gulita. Dalam keadaan yang demikian dahsyat itu, tiba-tiba dia melihat seberkas cahaya dari langit yang terang-benderang. Maka dalam sekejap, berubahlah dunia yang gelap-gulita menjadi terang benderang dengan cahaya tadi. Cahaya itu menyinari seluruh rumah penjuru bumi. Bersamaan dengan sinar yang cemerlang itu, Sa’ad bin Abi Waqqash melihat tiga orang lelaki, yang setelah diamati tidak lain adalah Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar bin Abi Quhafah dan Zaid bin Haritsah.

Sejak ia bermimpi yang demikian itu, mata Sa'ad bin Abi Waqqash tidak mau terpejam lagi. Kini Sa’ad bin Abi Waqqash duduk merenung untuk memikirkan arti mimpi yang baginya sangat aneh. Sampai sinar matahari mulai meninggi, rahasia mimpi yang aneh tersebut masih belum terjawab. Hatinya kini bertanya-tanya, berita apakah gerangan yang hendak saya peroleh. Seperti biasa, di waktu pagi, Sa’ad dan ibunya selalu makan bersama-sama. Dalam menghadapi hidangan pagi ini, Sa’ad lebih banyak berdiam diri. Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Namun, mimpi semalam dirahasiakannya, tidak diceritakan kepada ibu yang sangat dicintai dan dihormatinya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cinta Sa’ad hanya untuk ibunya yang telah memelihara dirinya sejak kecil hingga dewasa dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.

Pekerjaan Sa’ad adalah membuat tombak dan lembing yang diruncingkan untuk dijual kepada pemuda-pemuda Makkah yang senang berburu, meskipun ibunya terkadang melarangnya melakukan usaha ini. Ibu Sa’ad yang bernama Hamnah binti Suyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya, yaitu penyembah berhala.Pada suatu hari tabir mimpi Sa'ad mulai terbuka, ketika Abu Bakar As Siddiq mendatangi Sa'ad di tempat pekerjaannya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Saw, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad bertanya, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Saw, dijawab oleh Abu Bakar As Siddiq, dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Muhammad Saw, mengajak manusia menyembah Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi. Seruan ini telah mengetuk pintu hati Sa’ad untuk menemui Rasulullah Saw, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Kalbu Sa'ad telah disinari cahaya iman, meskipun usianya waktu itu baru menginjak tujuh belas tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah. Cahaya agama Allah yang memancar ke dalam kalbu Sa’ad, sudah demikian kuat, meskipun ia mengalami ujian yang tidak ringan dalam memeluk agama Allah ini.

Diantara ujian yang dirasa paling berat adalah, karena ibunya yang paling dikasihi dan disayanginya itu tidak rela ketika mengetahui Sa’ad memeluk Islam. Sejak memeluk Islam, Sa'ad telah melaksanakan shalat dengan sembunyi-sembunyi di kamarnya. Sampai pada suatu saat, ketika ia sedang bersujud kepada Allah, secara tidak sengaja, ibu yang belum mendapat hidayah dari Allah ini melihatnya. Dengan nada sedikit marah, Hamnah bertanya : "Sa'ad, apakah yang sedang kau lakukan ?" Rupanya Sa’ad sedang berdialog dengan Tuhannya; ia tampak tenang dan khusyu' sekali. Setelah selesai menunaikan Shalat, ia berbalik menghadap ibunya seraya berkata lembut. "Ibuku sayang, anakmu tadi bersujud kepada Allah Yang Esa, Pencipta langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Mendengar jawaban anaknya, sang ibu mulai naik darah dan berkata : "Rupanya engkau telah meninggalkan agama nenek moyang kita, Tuhan Lata, Manata dan Uzza. Ibu tidak rela wahai anakku. Tinggalkanlah agama itu dan kembalilah kepada agama nenek moyang kita yang telah sekian lama kita anut". "Wahai ibu, aku tidak dapat lagi menyekutukan Allah, Dia-lah Dzat Yang Tunggal, tiada yang setara dengan Dia, dan Muhammad adalah utusan Allah untuk seluruh umat manusia," jawab Sa'ad.

Kemarahan ibunya semakin menjadi-jadi, karena Sa’ad tetap bersikeras dengan keyakinannya yang baru ini. Oleh karena itu, Hamnah berjanji tak akan makan dan minum sampai Sa’ad kembali taat memeluk agamanya semula. Sehari telah berlalu, ibu ini tetap tidak mau makan dan minum. Hati Sa’ad merintih melihat ibunya, tetapi keyakinanya terlalu mahal untuk dikorbankan. Sa'ad datang membujuk ibunya dengan mengajaknya makan dan minum bersama, tapi ibunya menolak dengan harapan agar Sa’ad kembali kepada agama nenek moyangnya. Kini Sa’ad makan sendirian tanpa ditemani ibunya. Hari keduapun telah berlalu, ibunya tampak letih, wajahnya pucat-pasi dan matanya cekung, ia kelihatan lemah sekali. Tidak ada sedikitpun makanan dan minuman yang dijamahnya. Sa’ad sebagai seorang anak yang mencintai ibunya bertambah sedih dan terharu sekali melihat keadaan Hamnah yang demikian.

Malam berikutnya, Sa’ad kembali membujuk ibunya, agar mau makan dan minum. Namun ibunya adalah seorang wanita yang berpendirian keras, ia tetap menolak ajakan Sa’ad untuk makan, bahkan ia kembali merayu Sa’ad agar menuruti perintahnya semula. Tetapi Sa’ad tetap pada pendiriannya, ia tak hendak menjual agama dan keimanannya kepada Allah dengan sesuatupun, sekalipun dengan nyawa ibu yang dicintainya. Imannya telah membara, cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya telah sedemikian dalam. Di depan matanya ia menyaksikan keadaan ibunya yang meluluhkan hatinya, namun dari lidahnya keluar kata-kata pasti yang membingungkan lbunya; Demi Allah, ketahuilah wahai ibunda sayang, seandainya ibunda memiliki seratus nyawa lalu ia keluar satu persatu, tidaklah nanda akan meninggalkan agama ini walau ditebus dengan apa pun juga. Maka sekarang, terserah kepada ibunda, apakah ibunda akan makan atau tidak". Kata kepastian yang diucapkan anaknya dengan tegas membuat ibu Sa’ad bin Abi Waqqash tertegun sesaat.

Akhirnya ia mulai mengerti dan sadar, bahwa anaknya telah memegang teguh keyakinannya. Untuk menghormati ibunya, Sa’ad kembali mengajaknya untuk makan dengannya, karena ibu ini telah merasakan kelaparan yang amat sangat dan ia telah memaklumi pula bahwa anak yang dicintainya tidak akan mundur setapakpun dari agama yang dianutnya, maka ibu Sa’ad mundur dari pendiriannya dan memenuhi ajakan anaknya untuk makan bersama. Alangkah gembiranya hati Sa’ad bin Abi Waqqash. Ujian iman ternyata dapat diatasinya dengan ketabahan dan memohon pertolongan Allah.

Keesokan paginya, Sa’ad pergi menuju ke rumah Nabi Saw. Sewaktu ia berada di tengah majelis Nabi Saw, turunlah firman Allah yang menyokong pendirian Sa’ad bin Abi Wadqash:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu; hanya kepada-Ku-lah tempat kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah tempat kembalimu. Maka Kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. Luqman: 14-15).

Demikianlah, keimanan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Allah dan Rasul-Nya telah mendapat keridhaan Ilahi. Al-Qur’an telah mengabadikan peristiwa itu menjadi pedoman buat kaum Muslimin. Terkadang Sa’ad mencucurkan air matanya apabila ia sedang berada di dekat Nabi Saw. Ia adalah seorang sahabat Rasul Allah Saw, yang diterima amal ibadahnya dan diberi nikmat dengan doa Rasul Allah Saw, agar doanya kepada Allah dikabulkan. Apabila Sa'ad bermohon diberi kemenangan oleh Allah pastilah Allah akan mengabulkan doanya.

Pada suatu hari, ketika Rasulullah saw, sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menatap ke langit seolah mendengar bisikan malaikat. Kemudian Rasul kembali menatap kepada sahabatnya dengan berkata : "Sekarang akan ada di hadapan kalian seorang laki-laki dari penduduk surga". Mendengar ucapan Rasulullah saw, para sahabat menengok ke kanan dan ke kiri pada setiap arah, untuk melihat siapakah gerangan lelaki berbahagia yang menjadi penduduk surga.

Tidak lama berselang datanglah laki-laki yang ditunggu itu, dialah Sa’ad bin Abi Waqqash. Disamping terkenal sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, Sa’ad bin Abi Waqash juga terkenal karena keberaniannya dalam peperangan membela agama Allah. Ada dua hal penting yang dikenal orang tentang kesatriaannya. Pertama, Sa’ad adalah orang yang pertama melepaskan anak panah dalam membela agama Allah dan juga orang yang mula-mula terkena anak panah. Dan yang kedua, Sa’ad adalah satu-satunya orang yang dijamin oleh Rasulullah saw dengan jaminan kedua orang tua Nabi Saw. Bersabda Nabi Saw, dalam perang Uhud :”Panahlah hai Sa’ad ! Ayah-Ibuku menjadi jaminan bagimu”. Sa’ad bin Abi Waqqash, hampir selalu menyertai Nabi Saw dalam setiap pertempuran.

Doa Sa’ad bin Abi Waqqash yang senantiasa dikabulkan

Diriwayatkan dari Qais, bahwa Sa’ad menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,“Ya Allah, kabulkanlah Sa’ad jika dia berdoa.”

Manakala beliau didoakan seperti itu oleh Nabi saw, maka setiap doanya senantiasa dikabulkan oleh Allah. Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, dia berkata,“Suatu ketika penduduk Mekah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash kepada Umar bin Khattab, mereka mengatakan bahwa shalatnya tidak baik. Sa’ad kemudian membantah, ‘Aku mengerjakan shalat sesuai dengan shalatnya Rasulullah saw. Shalatku pada waktu isya, aku lakukan dengan lama pada dua rakaat pertama sedangkan pada dua rakaat terakhir aku lakukan dengan ringkas.’ Mendengar itu Umar bin Khattab berkata, “Berarti itu hanya prasangka terhadapmu wahai Abu Ishaq.’ Dia kemudian mengutus beberapa orang untuk bertanya tentang dirinya di Kufah, ternyata ketika mereka mendatangi masjid-masjid di Kuffah, mereka mendapat informasi yang baik, hingga ketika mereka datang ke masjid Bani Isa, seorang pria bernama Abu Sa’dah berkata, ‘Demi Allah, dia tidak adil dalam menetapkan hukum, tidak membagi secara adil dan tidak berjalan (untuk melakukan pemeriksaan) di waktu malam. Setelah itu Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, ‘Ya Allah, jika dia bohong maka butakanlah matanya, panjangkanlah usianya dan timpakanlah fitnah kepadanya.’”

Abdul Malik berkata,“Pada saat itu aku melihat Abu Sa’dah menderita penyakit tuli dan jika ditanya bagaimana keadaanmu, dia menjawab, ‘Orang tua yang terkena fitnah, aku terkutuk oleh doa Sa’ad.”(HR. Muttafaq ‘Alaihi).

Diriwayatkan dari Ibnu Al Musayyib, bahwa suatu ketika seorang pria mencela Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Mendengar itu, Sa’ad menegurnya,“Janganlah kamu mencela sahabat-sahabatku.’ Tetapi pria itu tidak mau menerima. Setelah itu Sa’ad berdiri, lalu mengerjakan shalat dua rakaat dan berdoa. Tiba-tiba seekor unta bukhti (peranakan unta Arab dan Dakhil) muncul menyeruduk pria tersebut hingga jatuh tersungkur di atas tanah, lantas meletakkannya di antara dada dan lantai hingga akhirnya ia terbunuh. Aku melihat orang-orang mengikuti Sa’ad dan berkata, ‘Selamat kamu wahai Abu Ishaq, doamu terkabulkan.’”

Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash ialah ketika ia memasuki usia delapan puluh tahun. Dalam keadaan sakit Sa’ad bin Abi Waqqash berpesan kepada para sahabatnya, agar ia dikafani dengan Jubah yang digunakannya dalam perang Badar, sebagai perang kemenangan pertama untuk kaum muslimin. Pahlawan perkasa ini telah menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para Syuhada.

Said bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi . ^_^

Said bin Zaid bin Amru bin Nufail Al Adawi atau sering juga disebut sebagai Abul A'waar lahir di Mekah 22 tahun sebelum Hijrah. Beliau termasuk sepuluh orang yang diberi kabar gembira akan masuk surga oleh Nabi saw.

"Wahai Allah, jika Engkau mengharamkanku dari agama yang lurus ini, janganlah anakku Sa’id diharamkan pula daripadanya.” (Doa Zaid untuk anaknya Said).

Ayah Said bernama Zaid bin Amru bin Nufail, tidak suka dan tidak pernah mau mengikuti ajaran jahiliyah. Beliau, yang diberi gelar Hanif, adalah penyelamat bayi perempuan yang ingin di bunuh oleh bapaknya pada masa tersebut dan mengambilnya sebagai anak angkat. Beliau juga tak pernah menyekutukan Allah, juga tak pernah menggunakan apa pun sebagai perantaranya dengan Allah. Beliau pernah mempelajari agama Yahudi dan Nasrani, tapi masih juga tak puas, sampai akhirnya beliau bertemu dengan seorang rahib yang memberi tahu bahwa Allah akan mengirimkan seorang Nabi dari kalangan bangsa Arab. Oleh karena itu beliau memutuskan untuk kembali ke Mekah. Di tengah jalan beliau terbunuh oleh kawanan perampok sehingga tak sempat kembali ke Mekah. Tapi doanya agar Allah tidak menghalangi anaknya masuk Islam sebagaimana beliau terhalang, terkabul.

Allah memperkenankan doa Zaid. Pada waktu Rasulullah saw mengajak orang banyak untuk masuk Islam, Said segera memenuhi panggilan Islam. Said bin zaid menjadi pelopor orang-orang beriman dengan Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad saw.

Said bin Zaid masuk Islam tidak seorang diri, melainkan bersama-sama dengan isterinya, Fathimah binti Khatthab, adik perempuan Umar bin Khatthab. Karena pemuda Quraisy ini masuk Islam, dia disakiti dan dianiaya, serta dipaksa oleh kaumnya agar kembali kepada agama mereka. Tetapi jangankan mereka berhasil mengembalikan Said dan isterinya kepada kepercayaan nenek moyang mereka, bahkan sebaliknya Said dan isterinya berhasil menarik seorang laki-laki Quraisy yang paling berbobot, baik fisik maupun intelektualnya masuk ke dalam Islam. Mereka berdualah yang telah menyebabkan Umar bin Khatthab masuk Islam.

Said bin zaid pernah hijrah ke Habsyah (Ethiopia), kemudian Madinah, dan Rasulullah saw mempersaudarakan beliau dengan Ubay bin Ka’ab.
[Mengintai kafilah Quraisy] Mengintai kafilah Quraisy

Rasulullah saw pernah mengutus beliau bersama Thalhah bin Ubaidillah untuk mengintai kafilah Quraisy yang pulang dari berniaga, dan saat keduanya melaksanakan tugas, terjadilah perang Badar yang berakhir dengan kemenangan untuk kaum muslimin, kemudian keduanya pulang dan Rasulullah saw memberikan kepada keduanya bagian dari harta rampasan perang. Said terkenal dengan keberaniannya dan kegagahannya, dan selalu mangikuti setiap peperangan.

Baliau termasuk seorang yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah, diriwayatkan bahwa Arwa binti Uwais telah melakukan kebohongan dengan menuduhnya merampas sebagian tanah miliknya, kemudian perempuan itu pergi ke Marwan bin Hakam yang saat itu menjabat sebagai gubernur Madinah, dan mengadukan permasalahannya. Maka Marwanpun mengutus seseorang kepada Said untuk menghadap kepadanya, lalu Marwan berkata,"Sesungguhnya wanita ini menuduh engkau telah merampas tanahnya," Said berkata,"Bagaimana mungkin saya menzalimi-nya sedangkan saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mengambil tanah orang lain walau sejengkal maka nanti di hari kiamat Allah akan memikulkan tujuh lapis bumi kepadanya”. Marwan berkata : “Jadi engkau harus bersumpah”, Said berkata : “Ya Allah jika wanita ini berdusta, maka janganlah engkau matikan dia kecuali matanya lebih dahulu buta, dan menjadikan kuburnya di sumur kemudian meninggalkan tanah yang diklaim sebagai miliknya kuburannya”. Setelah waktu berjalan, mata Arwa menjadi buta dan selalu dituntun oleh budaknya, dan pada suatu malam dia bangun dari tidurnya, sedangkan budaknya belum bangun lalu berjalan dan dirinya tercebur ke dalam sumur yang ada di dalam rumahnya lalu mati dan dijadikan sumur itu sebagai kuburnya.

Said bin Zaid adalah sahabat yang sangat terkenal dikalangan manusia, beliau mencintai mereka dan merekapun mencintainya, dan saat terjadi fitnah dikalangan umat Islam beliau tidak ikut di dalamnya, beliau sangat tekun dalam ketaatan kepada Allah dan beribadah kepada-Nya hingga akhir hayatnya.

Said bin Zaid meninggal pada umur 73 tahun, 51 tahun sesudah Hijrah di Madinah, Saad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar yang menolong masukkan jenazahnya ke dalam liang lahat.

Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah. ^_^

Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah SAW dengan tangan kanannya sambil bersabda, “Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah.”

Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur Dzatus Salasil sebagai bantuan bagi Amar bin ‘Ash, dan diangkatnya sebagai panglima dari suatu pasukan yang di dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar.

Siapakah sahabat yang mula pertama disebut sebagai amirul umara atau panglima besar ini.

Dan siapakah orang yang tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan ompong karena patah dua gigi mukanya.

Yah, siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga Umar bin Khattab ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir pernah berkata mengenai pribadinya, “Seandainya Abu ‘Ubadah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu tentulah, “Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya.”

Ia adalah Abu ‘Ubaidah, Amir bin Abdillah ibnul Jarrah. Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Shiddiq di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah SAW mengambil rumah Arqam sebagai tempat da’wah. Ia ikut hijrah ke Habsy pada kali kedua. Ia kembali pulang agar dapat mendampingi Rasulullah di perang Badar, perang Uhud, dan pertempuran-pertempuran lainnya. Lalu sepeninggal Rasulullah, dilanjutkannya gaya hidupnya sebagai seorang kuat yang dipercaya mendampingi Abu Bakar dan kemudian Umar dalam pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam menghadapi tanggung jawab keagamaan, baik dalam zuhud dan ketaqwaan, amanah dan keteguhan.

Ketika Abu ‘Ubaidah bai’at atau sumpah setia kepada Rasulullah SAW akan membangkitkan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya makna kata-kata yang tiga ini: berjuang dijalan Allah, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk menyerahkan kepadanya apa saja yang diperlukan berupa darma bakti dan pengurbanan.

Semenjak ia mengulurkan tangannya untuk bai’at kepada Rasulullah, ia tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya dihabiskan dalam mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan dibaktikan pada jalan-Nya demi mencapai keridhaan-Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyelewengkannya dari jalan Allah itu.

Maka tatkala Abu ‘Ubaidah telah menepati janji yang dilakukan oleh para sahabat lainnya, dilihat pula oleh Rasulullah sikap jiwa dan tata cara kehidupannya yang menyebabkannya layak untuk menerima gelar mulia yang diserahkan serta dihadiahkan Rauslullah kepadanya, dengan sabdanya:

“Orang kepercayaan ummat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah.”

Amanat atau kepercayaan yang dipenuhi oleh Abu ‘Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol. Umpamanya waktu perang Uhud, dari gerak gerik dan jalan pertempuran, diketahuinya bahwa tujuan utama dari orang-oarng musyrik itu adalah bukanlah hendak merebut kemenangan, tetapi untuk menghabisi riwayat Nabi Besar dan merenggut nyawanya. Ia berjanji kepada dirinya untuk selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu.

Maka dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke muka, merambah dan mendesak tentara berhala yang hendak melampiaskan maksud jahat mereka untuk memadamkan nur Ilahi. Setiap suasana medan pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah SAW, ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari kedudukan Rasulullah itu yang selalu diikutinya dengan hati cemas dan jiwa gelisah. Jika dilihatnya ada bahaya yang mengancam Nabi, maka ia bagaikan disentakan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakannya.

Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh; tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya. Hampir saja ia gelap mata, melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik lalu mengenai Nabi. Terlihatlah pedangnya yang sebilah itu berkelibatan, tak ubah bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga mencerai-beraikan mereka, lalu ia terbang mendapatkan Rasulullah. Didapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya, dan dilihatnya Rasulullah, Al-Amin, menghapus darah dengan tangan kanannya, sambil bersabda:

“Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang mencemari wajah Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Tuhan mereka.”

Abu ‘Ubaidah melihat dua buah mata rantai baju besi penutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya. Abu ‘Ubaidah tak dapat manahan hatinya lagi; ia segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi manisnya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, tetapi bersamaan dengan itu, tercabut pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah, lalu ditariknya mata rantai yang kedua dan tercabut pulalah gigi manis Abu ‘Ubaidah yang kedua. Dan baiklah kita serahkan kapda Abu Bakar Shiddiq untuk menceritakan persitiwa itu;

“Di waktu perang Uhud dan Rasulullah SAW ditimpa anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke dua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah SAW kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan timur, maka kataku: ‘Ya Allah, moga-moga itu merupakan pertolongan!’ Dan kala kami sampai pada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu ‘Ubaidah yang telah mendahuluinya ke sana, serta katanya, “Atas nama Allah, saya minta kepada anda wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah SAW.” Saya pun membiarkanya, maka dengan gigi mukanya Abu ‘Ubaidah mencabut salah satu mata rantai baju besi penutup kepala beliau hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu jatuhlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah. Kemudian ditariknya pula mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga sama tercabut, menyebabkan Abu ‘Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi ompong.”

Di saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para sahabat, maka amanah dan kejujuran Abu ‘Ubaidah meningkatlah pula. Tat kala ia dikirim oleh Nabi SAW dalam ekspedisi “Daun Khabath” dengan memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang berbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu ‘Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira. Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan berbekalah setiap prajurit setiap harinya hanyalah segenggam kurma. Ketika perbekalan hampir habis, maka bagian masing-maisng prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Tat kala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut “khabath,” lalu mereka tumbuk hingga halus seperti tepung dengan menggunkan alat senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan sebagai makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk air minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi “Daun Khabath.”

Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, dan tak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya.

Rasulullah amat sayang kepada Abu ‘Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepadanya. Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta seluk beluk agama Islam, maka ujar beliau:

“Baiklah, akan saya kirim bersama Tuan-Tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya.”

Para sahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah SAW ini, dan masing-masing berharap agar pilihan agar jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya.

Umar bin khattab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:

“Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat dhuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat dhuhur, beliau memberi salam, lalu menoleh kesebelah kanan dan kiri. Maka saya pun mengulurkan badan agar kelihatan oleh beliau. Tetapi ia juga masih melayangkan pandangannya mencari-cari, hingga akhirnya tampaklah Abu ‘Ubaidah, maka dipanggilnya, lalu sabdanya: “Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq.”

Maka Abu ‘Ubaidah berangkatlah bersama orang-orang itu.”

Dengan peristiwa ini, tentu saja tidak berarti bahwa Abu ‘Ubaidah merupakan satu-satunya yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedang lainnya tidak. Maksudnya ialah bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung beroleh kepercayaan yang berharga serta tugas mulia ini. Di samping itu, ia adalah salah seorang, mungkin juga satu-satunya orang pada masa itu, yang berprofesi da’i.

Sebagaimana Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan di masa Rasulullah SAW , demikian pula setelah Rasulullah wafat, ia tetap sebagai orang kepercayaan; memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajarlah apabila ia menjadi suri teladan bagi seluruh ummat manusia.

Di bawah panji-panji Islam, kemana pun ia pergi, ia adalah seorang prajurit yang dengan keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir atau panglima; dan disaat ia sebagai panglima, karena keikhlasan dan kerendahan hatinya, menyebabkan tidak lebih dari seorang prajurit biasa.

Kemudian, tatkala Khalid bin Walid sedang memimpin tentara Islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentukan, tiba-tiba amirul mu’minin Umra mema’lumkan titahnya untuk mengangkat Abu ‘Ubaidah sebagai pengganti Khalid, maka demi diterimanya berita itu, dari utusan khalifah, dimintanya orang itu untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Sementara, Abu ‘Ubaidah sendiri mendiamkannya dengan suatu niat dan tujuan baik sebagai lazimnya dimiliki seorang zuhud, arif, bijaksana, lagi dipecaya, menunggu selesainya panglima Khalid itu merebut kemenangan besar.

Setelah kemenangan tercapai, barulah ia mendapatkan Khlaid dengan hormat dan ta’dhimnya untuk menyerahkan surat dari amirul mu’minin. Ketika Khalid bertanya kepadanya, “Semoga Allah memberimu rahmat wahai Abu ‘Ubaidah! Apa sebabnya anda tidak menyampaikannya kepadaku di waktu datangnya?” Maka ujar kepercayaan ummat itu, “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda, dan bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah.”

Demikianlah, Abu ‘Ubaidah telah menjadi panglima besar di Syria Di bawah kekuasaanya, bernaung sebagian besar tentara Islam, baik dalam luas wilayahnya, maupun dalam perbekalan dan jumlah bilangannya. Tetapi bila anda melihatnya, maka sangka anda bahwa ia adalah salah seorang prajurit biasa serta pribadi biasa dari kaum muslimin.

Ketika sampai kepadanya perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan keta’juban mereka terhadap sebutan panglima besar, dikumpulkannya mereka lalu ia berdiri menyampaikan pidato.

Nah, cobalah anda sekalian perhatikan apa yang diucapkannya kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, kebesaran dan sifat amanahnya, “Hai ummat manusia?.!”

“Sesungguhnya saya ini adalah seorang muslim dari suku Quraisy. Dan siapa saja diantara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam yang lebih takwa dari padaku, hatiku ingin sekali berada dalam bimbingannya?.!”

Semoga Allah melanjutkan kebahagiaanmu, wahai Abu ‘Ubaidah. Dan mengekalkan agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu.

Kedudukannya sebagai panglima besar, dan pemimpin tentara Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya, begitu pun sebagai wali negeri diwilayah Syria yang semua kehendakanya berlaku dan perintahnya ditaati, maka semua itu dan lainnya yang serupa, tidak menggoyahkan ketakwaanya sedikit pun, dan tidak dijadikan andalan.

Amirul Mu’minin umar bin Khattab datang berkunjung ke Syria, kepada para penyambutnya ditanyakannya:

“Mana saudara saya?”
“Siapa?,” ujar mereka.
“Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah,” katanya pula.

Kemudian datanglah Abu ‘Ubaidah yang kemudian dipeluk oleh Amirul Mu’minin, lalu mereka pergi bersama-sama kerumahnya. Maka tidak satu pun perabot rumah tangga terdapat di rumah itu, kecuali pedang, tameng serta pelana kendarannya.

Sambil tersenyum, Umar bertanya kepadanya, “Kenapa tidak kau ambil untuk dirimu sebagaimana dilakukan oleh orang lain?” Maka jawab Abu ‘Ubaidah, “Wahai Amirul Mu’minin, ini menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat.”

Pada suatu hari di Madinah, tat kala Amirul Mu’minin Umar bin Khattab sibuk menangani dunia Islam yang luas, disampaikan orang berita berkabung meninggalnya Abu ‘Ubaidah.

Maka terpejamlah kedua pelupuk matanya yang telah digenangi air. Dan air itu pun meleleh, hingga Amirul Mu’minin membuka matanya dengan tawakal menyerahkan diri. Dimohonkannya rahmat bagi sahabatnya itu, dan bangkitlah kanangan-kenangan lamanya bersama almarhum ra yang ditampungnya dengan hati sabar diliputi duka. Kemudian diulangi kembali ucapan berkenaan sahabatnya itu, katanya:

“Seandainya aku bercita-cita, maka tak adalah harapanku selain sebuah rumah yang penuh di diami oleh tokoh-tokoh seperti Abu ‘Ubaidah.”

Orang kepercayan dari ummat ini wafat diatas bumi yang telah disucikannya dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi. Dan disana sekarang ini, yaitu dalam pangkuan tanah Yordania, bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan.

Meskipun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, sama saja halnya bagi dia atau bagi anda, karena seandainya anda bermaksud hendak mencapainya, anda tidak memerlukan petunjuk jalan, karena jasa-jasanya yang tidak terkira akan menuntun anda ke tempatnya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan komentar anda, demi perbaikan kedepannya,,,, Terima Kasih